Cari Blog Ini

Selasa, 02 Juni 2020

Faqir di hadapan Allah


            Sekaya apapun manusia, sesukses dan semulia apapun ia dihadapan manusia lainnya tetap tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Bahkan segala kekayaan yang kita punya pun hakikatnya adalah bagian dari kekayaan Allah. Jadi kita ini tak punya apa-apa bahkan tak bisa apa-apa tanpa rahmat-Nya dan kehendak-Nya. Kesadaran seperti inilah yang menumbuhkan rasa butuh pada Allah,  dan sebutlah rasa butuh mu itu dengan kefaqiran. Karena faqir adalah kerendahan diri paling mutlak, kita lihat banyak ulama’ kita yang menjuluki dirinya Al-Faqir sebagai bentuk kerendahan dirinya yang amat dihadapan Allah Yang Maha kaya.

            Wujud rasa butuh pada Allah adalah dengan selalu memohon atau berdo’a kepada-Nya. Dan kita dalam berdo’a hendaknya berpedoman pada tiga sosok yang memiliki cara memohon yang luar biasa, mereka seperti adalah :

1.      Tawakkalnya Nabi Ibrahim As

 Dijelaskan dalam Tafsir al-Sawiy Ketika Nabi Ibrahim hendak dibakar oleh Raja Namrud, berserulah langit dan bumi seisinya selain jin dan manusia : “Wahai Tuhan..! Ibrahim kekasihmu akan dilempar ke api besar.. di bumi-Mu tidak ada yang menyembah Engkau selain dia, maka Izinkanlah kami menolongnya.” Allah menjawab “Ibrahim adalah kekasih-Ku, Aku tak punya kekasih selain dia. Aku Tuhan dan Ibrahim tak punya Tuhan selain Aku. Maka jika ia meminta tolong padamu maka tolonglah, jika tidak maka biarkanlah. Aku kekasihnya dan Aku tahu dia.”

Seketika datanglah malaikat penjaga air “Akan ku padamkan api itu.” Lalu datang pula Malaikat penjaga udara : “akan aku hambur-hamburkan api itu.” Namun Nabi Ibrahim menjawab “Aku tidak butuh pertolonganmu, Allah telah mencukupiku dan aku berserah diri kepada-Nya.” Kemudian Malaikat Jibril datang “Hai Ibrahim, apakah kau butuh sesuatu?” Nabi Ibrahim menjawab “Kalau padamu tidak.” Lalu beliau berdo’a

حَسْبِيْ مِنْ سُؤَالِيْ عِلْمُكَ بِجَالِيْ

“Cukuplah aku tidak minta, Engkau pasti tahu keadaanku.”

            Hubungkanlah setiap do’a dengan mental ketawakkalan seperti Nabi Ibrahim, yaitu jangan banyak menuntut untuk terkabulkannya do’a itu, atau jangan banyak berharap bisa begini atau begitu. Berdo’alah sebagai bentuk penghambaan kepada Tuhanmu. Entah situasinya seperti apa, “Terserah Allah mau diapakan aku ini, Allah Maha mengetahui yang terbaik.” Tugas kita hanya berjuang dan berdo’a, dikabulkan atau tidak, terserah Allah.

اَنْتَ تُرِيْدُ وَ اَنَا اُرِيْدُ وَاللّٰهُ يَفْعَلُ مَا يُرِيْدُ

“Kamu berkeinginan dan aku berkeinginan tapi Allah-lah yang mengeksekusi segala Keinginan”

2.      Kefaqiran Nabi Musa As

Setelah menolong dua putri Nabi Syu’aib Nabi Musa pergi berteduh disebuah pohon yang ridang, beliau merasa sangat haus dan lapar. Padahal setelah menolong dua gadis itu beliau bisa saja meminta upah untuk mengisi perut dan dahaganya, tapi biliau enggan meminta malah berdo’a :

رَبِّ لِمَآ اَنْزَلْتَ اِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ

“Ya Tuhan, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan untukku”    (QS. Al-Qashash : 24)

Redaksi do’a Nabi Musa bukan langsung meminta melainkan dengan menunjukkan kefaqirannya, ketika Nabi Musa merasa faqir dihadapan-Nya, berarti beliau juga menganggap (menyaksikan) bahwa Allah Maha Kaya segala-galanya. Karena kefaqirannya pada Allah, telah mencegah Nabi Musa untuk meminta pada selain-Nya. Dengan seperti ini, maka Allah menganggap Nabi Musa meminta dan kemudian memberinya.

3.       Kerendahan Nabi Yunus As.    

لَآاِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ

“Tiada Tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk dari orang-orang yang zhalim” (QS. AL-Anbiya’: 87)

            Ini adalah tasbih Nabi Yunus ketika dilemparkan ke laut dan dimakan ikan paus. Sama halnya dengan Nabi Musa, Nabi Yunus juga tak langsung meminta beliau merendahkan diri dengan mengakui segala kezhaliman yang diperbuat. Allah Maha mendengar lalu membebaskan Nabi Yunus dari perut ikan paus. Seandainya Nabi Yunus tak bertasbih seperti itu niscaya beliau akan berada di perut ikan paus hingga hari kiamat.

            Kerendahan diri seperti ini juga bentuk dari ketidak berdayaan kita dihadapan Allah. Guru kami KH. Imam Barmawi mengajarkan agar dalam setiap do’a kita selalu menyisipkan permohonan ampun pada Allah. Kita tak tahu dan mungkin juga tak menyadari kapan dosa masuk ke catatan amal kita, maka dari itu selalulah memohon ampun setiap berkesempatan untuk berdo’a.  

 

            Dari tiga Nabi diatas kita bisa mengambil satu hal yang sama dari cara berdo’a mereka, yaitu tak banyak menuntut. Nabi Ibrahimtidak semerta-merta berdo’a ‘selamatkan aku ya Allah!’ Nabi Musa juga tak langsung berdo’a ‘beri aku makan ya Allah’ Nabi Yunus pun tak meminta ‘keluarkan aku ya Allah’. Bentuk kefaqiran atau rasa butuh itu bukan dengan menuntut, tapi dengan cara memohon. Mereka semua merendahkan diri, menunjukan betapa butuhnya, dan menyerahkan  segalanya pada Allah yang Maha Mengetahui.


0 komentar:

Posting Komentar