وَمَا عَلَّمْتُمْ مِّنَ الْجَوَارِحِ
مُكَلِّبِيْنَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّآ اَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ
عَلَيْهِ
“Dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu
yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang Allah
ajarkan padamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama
Allah (waktu melepsnya)” (Qs. Al-Maidah : 4)
Potongan ayat keempat dari surat Al-Maidah diatas menjelaskan secara
kongkrit tentang hukum makanan atau daging yang ditangkap oleh binatang pemburu
seperti anjing, elang dan sebagainya.
Disisi lain juga terdapat beberapa nilai filosofis dari isi kandungan ayat
tersebut. Kalam hikmah yang bisa kita koleksi sebagai butiran bekal perjalanan
hidup kita, terutama bagi pemuda-pemuda milenial yang kini sedang memburu ilmu,
seperti pelajar, mahasiswa ataupun para santri di pesantren.
1.
Anjing sebagai cermin kerendahan hati
Dari berbagai jenis hewan yang bisa dijadikan binatang pemburu, anjinglah
yang paling sering disinggung dalam beberapa kitab tafsir tentang ayat diatas.
Karena pada umumnya, memang anjinglah yang biasa dibawa sebagai teman berburu.
Sebuah korelasi antara anjing pemburu dan seorang penuntut ilmu. Bagaimana
mungkin? Anjing yang di cap sebagai hewan hina, najis, liar dan banyak dijauhi
orang bisa disamakan dengan seorang penuntut ilmu yang dalam beberapa
penjelasan disebut mulia. Disitulah letak korelasinya, atau tepatnya sesuatu
yang harus dikorelasikan. Seorang penuntut ilmu, semulia apapun setinggi apapun
ia tetap tak boleh merasa tinggi diri, ia harus tetap tawadu’ (rendah diri),
sementara anjing dan sifat-sifatnya itu dapat dijadikan cermin dari ketawadu’an.
Menurut KH. Maftuh Basthul Birri definisi tawadu’ adalah merasa lebih rendah
daripada orang lain, bahkan merasa paling rendah,paling jeleknya makhluk
sedunia.
Jangankan penuntut ilmu, seorang Waliyullah
pun mengambil beberapa sifat anjing yang harus dimiliki. Sebagaimana yang
dijelaskan Thom Afandi dalm bukunya Ngopi di Pesantren. Sifat-sifat
tersebut adalah : 1). Tidak pernah melupakan kebaikan dari siapapun 2). Selalu
sabar dan bersyukur 3). Tidak pernah marah pada majikan, bahkan meski ia
dipukul atau diusir 4). Rendah hati, penurut, dan jujur 5). Puas dengan hal-hal
yang sedikit 6). Tidak memiliki apa-apa 7). Bisa tidur dimana saja dan siap
diusir 8). Sangat jarang tidur 9). Dapat dipercaya 10). Ramah 11). Loyal,
selalu ingat pada pemiliknya 12). Tak pernah berkhianat.
2.
Belajar dari apa yang diajarkan Allah
Lafadz “tu’allimuunahunna mimma ‘allamakumullah” mengartikan bahwa
anjing pemburu yang dimaksud pada ayat ini adalah anjing yang sudah terlatih
untuk berburu. Sangat menarik sekali
bahwa dalam ayat ini Allah Swt menyinggung kedudukan latihan
yang dilakukan terhadap hewan, di antaranya adalah anjing pemburu.
Ayat ini menyebutkan, apa yang telah diajarkan kepada binatang-binatang itu, sesungguhnya
Allah Swt telah mengajarkan kepada kalian, dan bukan kalian sendiri
yang mengerti pekerjaan semacam ini. Lalu
Allah menjadikan seekor anjing liar, dapat menjadi jinak dan dibawah perintah
kalian, sehingga apa saja yang kalian surukan dapat ia laksanakan untuk kalian.
Ayat ini menyiratkan betapa pentingnya sanad keilmuan.
Bayangkan jika kita berada di posisi si anjing, penting sekali untuk mencari
tuan yang benar-benar mampu untuk mengajarinya berburu sesuai dengan hukum
Allah. Agar tak sembarang berburu dan Supaya hasil tangkapannya nanti tetap
halal ketika dipersembahakan pada sang tuan. Begitu pula seorang pelajar/santri
mencari ilmu harus dengan sanad yang jelas, sanad keilmuannya harus betul
sampai hingga Nabi Muhammad SAW. Karena yang namanya ilmu muaranya tetap pada Allah
nantinya. Ilmu adalah salah satu dari perkara yang akan dimintai pertanggung
jawaban olehNya.
3.
Menangkapkan...! bukan menangkap
“Fakuluu mimma
amsakna ‘alaikum”, dalam tafsir Ibnu Katsir maksud dari ayat
tersebut adalah apa yang ditangkapkan oleh si anjing pemburu itu harus
benar-benar hanya ditangkap, tak boleh termakan meski hanya secuil. Pendapat yang benar dari Imam asy-Syafi’i, yaitu bahwa
jika anjing itu memakan sebagian dari binatang buruan, maka binatang itu haram
secara mutlak.
Pemburu ilmu pun harus
memiliki sikap semacam ini. Keikhlasan dalam mengamalkan ilmu yg ia peroleh
dari sang guru. Tidak menuntut imbalan apapun ketika ia berkontribusi pada
masyarakat dengan ilmunya.
Seorang ahli hikmah berkata “Semua manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu. Semua
orang berilmu akan binasa kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Orang yang
mengamalkan ilmunya akan binasa kecuali orang yang ikhlas. Mereka yang ikhlas
masih dalam kekhawatiran yang agung.” .
4.
Ridlo Guru
“wadzkurus mallahi ‘alaih” maksudnya
adalah ketika hendak melebas si anjing pemburu untuk menuju manghanya,
hendaknya ia dilepaskan sambil mengingat Alah dengan melafadzkan Basmalah,
sebagaimana memmbaca basmalahnya orang yang hendak menyembelih atau basmalahnya
orang yang hendak melepas anak panah dalam perburuan.
Maka dalam pengembaraan ilmu pun sangat diperlukan do’a atau ridlo seorang
guru sebagaimana ridlonya seorang pemburu ketika melepas anjingnya. Tanpa ridlo
dari guru takkan ada ilmu yang berguna, tak ada kebarokahan dan kemanfaatan
sebagaimana tak adanya kehalalan dalam tangkapan anjing pemburu yang dilepas
tanpa Asma Allah.






0 komentar:
Posting Komentar