Cari Blog Ini

Jumat, 29 Mei 2020

Filosofi Anjing Pemburu


وَمَا عَلَّمْتُمْ مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّآ اَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

Dan  (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang Allah ajarkan padamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepsnya)” (Qs. Al-Maidah : 4)

            Potongan ayat keempat dari surat Al-Maidah diatas menjelaskan secara kongkrit tentang hukum makanan atau daging yang ditangkap oleh binatang pemburu seperti anjing, elang dan sebagainya.

            Disisi lain juga terdapat beberapa nilai filosofis dari isi kandungan ayat tersebut. Kalam hikmah yang bisa kita koleksi sebagai butiran bekal perjalanan hidup kita, terutama bagi pemuda-pemuda milenial yang kini sedang memburu ilmu, seperti pelajar, mahasiswa ataupun para santri di pesantren.

1.      Anjing sebagai cermin kerendahan hati

Dari berbagai jenis hewan yang bisa dijadikan binatang pemburu, anjinglah yang paling sering disinggung dalam beberapa kitab tafsir tentang ayat diatas. Karena pada umumnya, memang anjinglah yang biasa dibawa sebagai teman berburu.

Sebuah korelasi antara anjing pemburu dan seorang penuntut ilmu. Bagaimana mungkin? Anjing yang di cap sebagai hewan hina, najis, liar dan banyak dijauhi orang bisa disamakan dengan seorang penuntut ilmu yang dalam beberapa penjelasan disebut mulia. Disitulah letak korelasinya, atau tepatnya sesuatu yang harus dikorelasikan. Seorang penuntut ilmu, semulia apapun setinggi apapun ia tetap tak boleh merasa tinggi diri, ia harus tetap tawadu’ (rendah diri), sementara anjing dan sifat-sifatnya itu dapat dijadikan cermin dari ketawadu’an. Menurut KH. Maftuh Basthul Birri definisi tawadu’ adalah merasa lebih rendah daripada orang lain, bahkan merasa paling rendah,paling jeleknya makhluk sedunia.

       Jangankan penuntut ilmu, seorang Waliyullah pun mengambil beberapa sifat anjing yang harus dimiliki. Sebagaimana yang dijelaskan Thom Afandi dalm bukunya Ngopi di Pesantren. Sifat-sifat tersebut adalah : 1). Tidak pernah melupakan kebaikan dari siapapun 2). Selalu sabar dan bersyukur 3). Tidak pernah marah pada majikan, bahkan meski ia dipukul atau diusir 4). Rendah hati, penurut, dan jujur 5). Puas dengan hal-hal yang sedikit 6). Tidak memiliki apa-apa 7). Bisa tidur dimana saja dan siap diusir 8). Sangat jarang tidur 9). Dapat dipercaya 10). Ramah 11). Loyal, selalu ingat pada pemiliknya 12). Tak pernah berkhianat.

2.      Belajar dari apa yang diajarkan Allah

Lafadz “tu’allimuunahunna mimma ‘allamakumullah” mengartikan bahwa anjing pemburu yang dimaksud pada ayat ini adalah anjing yang sudah terlatih untuk berburu. Sangat menarik sekali bahwa dalam ayat ini Allah Swt menyinggung kedudukan latihan yang dilakukan terhadap hewan, di antaranya adalah  anjing pemburu. Ayat ini menyebutkan, apa yang telah diajarkan kepada binatang-binatang itu, sesungguhnya Allah Swt telah mengajarkan kepada kalian, dan bukan kalian sendiri yang mengerti pekerjaan semacam ini. Lalu Allah menjadikan seekor anjing liar, dapat menjadi jinak dan dibawah perintah kalian, sehingga apa saja yang kalian surukan dapat ia laksanakan untuk kalian.

Ayat ini menyiratkan betapa pentingnya sanad keilmuan. Bayangkan jika kita berada di posisi si anjing, penting sekali untuk mencari tuan yang benar-benar mampu untuk mengajarinya berburu sesuai dengan hukum Allah. Agar tak sembarang berburu dan Supaya hasil tangkapannya nanti tetap halal ketika dipersembahakan pada sang tuan. Begitu pula seorang pelajar/santri mencari ilmu harus dengan sanad yang jelas, sanad keilmuannya harus betul sampai hingga Nabi Muhammad SAW. Karena yang namanya ilmu muaranya tetap pada Allah nantinya. Ilmu adalah salah satu dari perkara yang akan dimintai pertanggung jawaban olehNya.

3.      Menangkapkan...! bukan menangkap

“Fakuluu mimma amsakna ‘alaikum”, dalam tafsir Ibnu Katsir maksud dari ayat tersebut adalah apa yang ditangkapkan oleh si anjing pemburu itu harus benar-benar hanya ditangkap, tak boleh termakan meski hanya secuil. Pendapat yang benar dari Imam asy-Syafi’i, yaitu bahwa jika anjing itu memakan sebagian dari binatang buruan, maka binatang itu haram secara mutlak.

Pemburu ilmu pun harus memiliki sikap semacam ini. Keikhlasan dalam mengamalkan ilmu yg ia peroleh dari sang guru. Tidak menuntut imbalan apapun ketika ia berkontribusi pada masyarakat dengan ilmunya.

Seorang ahli hikmah berkata “Semua manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu. Semua orang berilmu akan binasa kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Orang yang mengamalkan ilmunya akan binasa kecuali orang yang ikhlas. Mereka yang ikhlas masih dalam kekhawatiran yang agung.” .

 

4.      Ridlo Guru

“wadzkurus mallahi ‘alaih” maksudnya adalah ketika hendak melebas si anjing pemburu untuk menuju manghanya, hendaknya ia dilepaskan sambil mengingat Alah dengan melafadzkan Basmalah, sebagaimana memmbaca basmalahnya orang yang hendak menyembelih atau basmalahnya orang yang hendak melepas anak panah dalam perburuan.

Maka dalam pengembaraan ilmu pun sangat diperlukan do’a atau ridlo seorang guru sebagaimana ridlonya seorang pemburu ketika melepas anjingnya. Tanpa ridlo dari guru takkan ada ilmu yang berguna, tak ada kebarokahan dan kemanfaatan sebagaimana tak adanya kehalalan dalam tangkapan anjing pemburu yang dilepas tanpa Asma Allah.


0 komentar:

Posting Komentar