Pada umumnya, orang
mengartikan kaya sebagai harta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)pun
kaya diartikan banyak harta. Satu hal pasti bahwa di zaman ini kaya adalah
tujuan sebagian besar umat. Tolok ukur kesuksesan dilihat dari harta benda yang
mampu ia kumpulkan. Derajat manusia pun dibeda-bedakan sesuai uang yang ia
miliki. Keadilan pun kini dikendalikan oleh kekayaan.
Akan tetapi dalam agama
rahmat ini, “kekayaan bukanlah kaya harta benda, akan tetapi kekayaan adalah
kaya hati” (HR. Bukhori & Muslim).yaitu orang-orang yang merasa kaya
karena ia yakin bahwa Tuhannya Maha kaya “aku kaya karena aku hambanya Yang
Maha kaya”. Karena ia menyelami ayat :
واَنَّهُ هُوَ اَغْنٰى وَاَقْنٰى
“dan
bahwasanya Dia memberikan kekayaan dan kecukupan”(QS. AN-Najm :48)
Yang Allah anugerahkan
pada kita adalah kaya dan cukup. Lalu kenapa kita miskin? Karena kita
sendirilah yang berburuk sangka pada Allah. Sesungguhnya miskin itu hanyalah
pendapat manusia, kita miskin karena kita sendirilah yang tak pandai-pandai
bersikap kaya dihadapan makhluk. ‘Bersikap kaya’ yang dimaksud bukanlah
bersikap sombong, tetapi bersikap
sebagai berikut :
1.
Tak pernah merasa kurang
Sebuah kekeliruan memotivasi yang pernah kami dengar adalah “Rahasia sukses adalah saya tak pernah
merasa puas terhadap apa yang saya capai, sehingga memacu saya untuk terus
maju”, inilah bentuk kemiskinan yang sesungguhnya. Selalu merasa kurang,
kurang, kurang... hingga kapan?. Inilah yang disebut :
الَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَه
“yang
mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya”(QS. Al-Humazah:2)
Kita ambillah perumpamaan seorang koruptor, telah banyak uang rakyat yang
ia makan, lantas apakah ia berhenti? Tidak, ia terus korupsi hingga KPK
menangkapnya. Inilah kemiskinan sejati, selalu merasa kurang. Hal seperti itu
sebenarnya memunculkan ketakutan dalam hatinya, setiap malam tidurnya tak
nyenyak karena memikirkan hari esok yang entah hartanya akan bertambah atau
berkurang.
Oleh karena itu pandai-pandailah mengkayakan hati ini dengan bersyukur dan
merasa cukup atas anugerah Allah. Sebaliknya hati yang bersyukur mendatangkan
ketentraman dan keceriaan. Lihatlah para petani yang bekerja dibawah siraman
terik mentari, mereka masih bisa bekerja sambil tertawa dan bernyanyi bahagia
bersama kicau burung, karena mereka pandai bersyukur. Lalu lihatlah betapa
banyak orang yang diakui sukses, bekerja dibawah naungan gedung berlantai
tujuh, namun malamnya dipenuhi kegelisahan, karena otak yang terus digentayangi
ancaman kebangkrutan.
2.
Tak suka bergantung pada makhluk
اللّٰهُ الصَّمَدُ
“Allah-lah
tempat bergantung”(QS. Al-Ikhlas:2)
Orang yang memahami ayat ini pasti akan menjauhkan dirinya dari
meminta-minta, dia hanya akan meminta ketika sangat darurat, yaitu apabila
tidak meminta dapat membuatnya mati. Hal tersebut dikarenakan ia benar-benar ingin
mempraktekkan ayat :
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya
pada-Mu lah kami menyembah dan hanya pada-Mu lah kami meminta pertolongan”
Jadi keyakinannya pada Tuhannya membuatnya enggan untuk meminta pada selain
Allah, segala kebutuhan serta permasalahannya semua dicurhatkan pada Allah
seperti inilah profil orang kaya. Namun
perlu digaris bawahi bahwa pantangannya adalah meminta, tapi apabila diberi
bisa kita diterima dengan niat agar tidak menyakiti hati si pemberi.
3.
Tidak merasa butuh pada hartanya
Jadi hakikat kekayaan yang sesungguhnya itu ialah ia yang mampu memanjemen
harta bukan di manajemen harta. Orang kaya tak lupa daratan, ia betul-betul
sadar bahwa kelebihan hartanya itu merupakan bonus dari Allah dan ada hak yang
harus dikeluarkan disana.
Maka janganlah takut-takut atau ragu mengeluarkan hartamu untuk shadaqoh
atau infaq, hal seperti menjadi kewajiban sosial bagi manusia. Tidak sedikit
kita ketahui orang yang kelebihan hartanya itu malah pelit, uang sudah
dijadikan tuannya. Jangankan untuk orang lain, untuk diri sendiripun pelitnya
minta ampun, yang dipikirkan bagaimana bisa usaha tanpa modal tapi untungnya
banyak. Ketika disuruh berinfaq jawabnya “ini hasil kerja kerasku, kok mau
dikasih orang”. Prinsip mereka adalah pelit pangkal kaya. Padahal jangankan
seperti itu, hemat pangkal kaya pun sedikit keliru, karena yang paling benar
adalah shodaqoh pangkal kaya, syukur pangkal kaya.
(وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
(19
“dan dalam harta mereka ada haq untuk para peminta dan yang membutuhkan”.
(QS. Adz-Dzariyat :19)
Bukannya orang kaya yang kelebihan hartanya itu buruk, karena kita tak bisa
menilai baik atau buruk sesorang hanya berdasarkan hartanya. Namun bagaimana
seseorang agar bisa bersikap tiga hal diatas, sebanyak atau sesedikit apapun
hartanya, jika tiga hal diatas diambil sikap oleh kita, maka kita akan terlihat
kaya dihadapan makhluk bahkan dihadapan Allah kitalah orang kaya sejati.







0 komentar:
Posting Komentar