Sekaya apapun manusia, sesukses dan
semulia apapun ia dihadapan manusia lainnya tetap tidak ada apa-apanya di
hadapan Allah. Bahkan segala kekayaan yang kita punya pun hakikatnya adalah
bagian dari kekayaan Allah. Jadi kita ini tak punya apa-apa bahkan tak bisa
apa-apa tanpa rahmat-Nya dan kehendak-Nya. Kesadaran seperti inilah yang
menumbuhkan rasa butuh pada Allah, dan
sebutlah rasa butuh mu itu dengan kefaqiran. Karena faqir adalah kerendahan
diri paling mutlak, kita lihat banyak ulama’ kita yang menjuluki dirinya Al-Faqir
sebagai bentuk kerendahan dirinya yang amat dihadapan Allah Yang Maha kaya.
Wujud rasa butuh pada Allah adalah
dengan selalu memohon atau berdo’a kepada-Nya. Dan kita dalam berdo’a hendaknya
berpedoman pada tiga sosok yang memiliki cara memohon yang luar biasa, mereka
seperti adalah :
1.
Tawakkalnya Nabi Ibrahim As
Dijelaskan dalam Tafsir al-Sawiy Ketika Nabi Ibrahim hendak dibakar oleh Raja Namrud, berserulah langit dan
bumi seisinya selain jin dan manusia : “Wahai Tuhan..! Ibrahim kekasihmu akan
dilempar ke api besar.. di bumi-Mu tidak ada yang menyembah Engkau selain dia,
maka Izinkanlah kami menolongnya.” Allah menjawab “Ibrahim adalah kekasih-Ku,
Aku tak punya kekasih selain dia. Aku Tuhan dan Ibrahim tak punya Tuhan selain
Aku. Maka jika ia meminta tolong padamu maka tolonglah, jika tidak maka
biarkanlah. Aku kekasihnya dan Aku tahu dia.”
Seketika datanglah malaikat penjaga air “Akan ku padamkan api itu.” Lalu
datang pula Malaikat penjaga udara : “akan aku hambur-hamburkan api itu.” Namun
Nabi Ibrahim menjawab “Aku tidak butuh pertolonganmu, Allah telah mencukupiku
dan aku berserah diri kepada-Nya.” Kemudian Malaikat Jibril datang “Hai
Ibrahim, apakah kau butuh sesuatu?” Nabi Ibrahim menjawab “Kalau padamu tidak.”
Lalu beliau berdo’a
حَسْبِيْ مِنْ سُؤَالِيْ عِلْمُكَ بِجَالِيْ
“Cukuplah aku
tidak minta, Engkau pasti tahu keadaanku.”
Hubungkanlah setiap do’a dengan mental ketawakkalan seperti Nabi Ibrahim,
yaitu jangan banyak menuntut untuk terkabulkannya do’a itu, atau jangan banyak
berharap bisa begini atau begitu. Berdo’alah sebagai bentuk penghambaan kepada
Tuhanmu. Entah situasinya seperti apa, “Terserah Allah mau diapakan aku ini,
Allah Maha mengetahui yang terbaik.” Tugas kita hanya berjuang dan berdo’a,
dikabulkan atau tidak, terserah Allah.
اَنْتَ تُرِيْدُ وَ اَنَا اُرِيْدُ وَاللّٰهُ
يَفْعَلُ مَا يُرِيْدُ
“Kamu
berkeinginan dan aku berkeinginan tapi Allah-lah yang mengeksekusi segala
Keinginan”
2.
Kefaqiran Nabi Musa As
Setelah
menolong dua putri Nabi Syu’aib Nabi Musa pergi berteduh disebuah pohon yang
ridang, beliau merasa sangat haus dan lapar. Padahal setelah menolong dua gadis
itu beliau bisa saja meminta upah untuk mengisi perut dan dahaganya, tapi
biliau enggan meminta malah berdo’a :
رَبِّ لِمَآ اَنْزَلْتَ اِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ
فَقِيْرٌ
“Ya Tuhan,
sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan
untukku” (QS. Al-Qashash : 24)
Redaksi do’a Nabi Musa bukan langsung meminta
melainkan dengan menunjukkan kefaqirannya, ketika Nabi Musa merasa faqir
dihadapan-Nya, berarti beliau juga menganggap (menyaksikan) bahwa Allah Maha
Kaya segala-galanya. Karena kefaqirannya pada Allah, telah mencegah Nabi Musa
untuk meminta pada selain-Nya. Dengan seperti ini, maka Allah menganggap Nabi
Musa meminta dan kemudian memberinya.
3. Kerendahan Nabi Yunus As.
لَآاِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ
كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ
“Tiada
Tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk dari
orang-orang yang zhalim” (QS. AL-Anbiya’: 87)
Ini adalah tasbih Nabi Yunus ketika
dilemparkan ke laut dan dimakan ikan paus. Sama halnya dengan Nabi Musa, Nabi
Yunus juga tak langsung meminta beliau merendahkan diri dengan mengakui segala
kezhaliman yang diperbuat. Allah Maha mendengar lalu membebaskan Nabi Yunus
dari perut ikan paus. Seandainya Nabi Yunus tak bertasbih seperti itu niscaya
beliau akan berada di perut ikan paus hingga hari kiamat.
Kerendahan diri seperti ini juga
bentuk dari ketidak berdayaan kita dihadapan Allah. Guru kami KH. Imam Barmawi
mengajarkan agar dalam setiap do’a kita selalu menyisipkan permohonan ampun
pada Allah. Kita tak tahu dan mungkin juga tak menyadari kapan dosa masuk ke
catatan amal kita, maka dari itu selalulah memohon ampun setiap berkesempatan
untuk berdo’a.
Dari tiga Nabi diatas kita bisa
mengambil satu hal yang sama dari cara berdo’a mereka, yaitu tak banyak
menuntut. Nabi Ibrahimtidak semerta-merta berdo’a ‘selamatkan aku ya Allah!’
Nabi Musa juga tak langsung berdo’a ‘beri aku makan ya Allah’ Nabi Yunus pun
tak meminta ‘keluarkan aku ya Allah’. Bentuk kefaqiran atau rasa butuh itu
bukan dengan menuntut, tapi dengan cara memohon. Mereka semua merendahkan diri,
menunjukan betapa butuhnya, dan menyerahkan
segalanya pada Allah yang Maha Mengetahui.











