Cari Blog Ini

Selasa, 02 Juni 2020

Faqir di hadapan Allah


            Sekaya apapun manusia, sesukses dan semulia apapun ia dihadapan manusia lainnya tetap tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Bahkan segala kekayaan yang kita punya pun hakikatnya adalah bagian dari kekayaan Allah. Jadi kita ini tak punya apa-apa bahkan tak bisa apa-apa tanpa rahmat-Nya dan kehendak-Nya. Kesadaran seperti inilah yang menumbuhkan rasa butuh pada Allah,  dan sebutlah rasa butuh mu itu dengan kefaqiran. Karena faqir adalah kerendahan diri paling mutlak, kita lihat banyak ulama’ kita yang menjuluki dirinya Al-Faqir sebagai bentuk kerendahan dirinya yang amat dihadapan Allah Yang Maha kaya.

            Wujud rasa butuh pada Allah adalah dengan selalu memohon atau berdo’a kepada-Nya. Dan kita dalam berdo’a hendaknya berpedoman pada tiga sosok yang memiliki cara memohon yang luar biasa, mereka seperti adalah :

1.      Tawakkalnya Nabi Ibrahim As

 Dijelaskan dalam Tafsir al-Sawiy Ketika Nabi Ibrahim hendak dibakar oleh Raja Namrud, berserulah langit dan bumi seisinya selain jin dan manusia : “Wahai Tuhan..! Ibrahim kekasihmu akan dilempar ke api besar.. di bumi-Mu tidak ada yang menyembah Engkau selain dia, maka Izinkanlah kami menolongnya.” Allah menjawab “Ibrahim adalah kekasih-Ku, Aku tak punya kekasih selain dia. Aku Tuhan dan Ibrahim tak punya Tuhan selain Aku. Maka jika ia meminta tolong padamu maka tolonglah, jika tidak maka biarkanlah. Aku kekasihnya dan Aku tahu dia.”

Seketika datanglah malaikat penjaga air “Akan ku padamkan api itu.” Lalu datang pula Malaikat penjaga udara : “akan aku hambur-hamburkan api itu.” Namun Nabi Ibrahim menjawab “Aku tidak butuh pertolonganmu, Allah telah mencukupiku dan aku berserah diri kepada-Nya.” Kemudian Malaikat Jibril datang “Hai Ibrahim, apakah kau butuh sesuatu?” Nabi Ibrahim menjawab “Kalau padamu tidak.” Lalu beliau berdo’a

حَسْبِيْ مِنْ سُؤَالِيْ عِلْمُكَ بِجَالِيْ

“Cukuplah aku tidak minta, Engkau pasti tahu keadaanku.”

            Hubungkanlah setiap do’a dengan mental ketawakkalan seperti Nabi Ibrahim, yaitu jangan banyak menuntut untuk terkabulkannya do’a itu, atau jangan banyak berharap bisa begini atau begitu. Berdo’alah sebagai bentuk penghambaan kepada Tuhanmu. Entah situasinya seperti apa, “Terserah Allah mau diapakan aku ini, Allah Maha mengetahui yang terbaik.” Tugas kita hanya berjuang dan berdo’a, dikabulkan atau tidak, terserah Allah.

اَنْتَ تُرِيْدُ وَ اَنَا اُرِيْدُ وَاللّٰهُ يَفْعَلُ مَا يُرِيْدُ

“Kamu berkeinginan dan aku berkeinginan tapi Allah-lah yang mengeksekusi segala Keinginan”

2.      Kefaqiran Nabi Musa As

Setelah menolong dua putri Nabi Syu’aib Nabi Musa pergi berteduh disebuah pohon yang ridang, beliau merasa sangat haus dan lapar. Padahal setelah menolong dua gadis itu beliau bisa saja meminta upah untuk mengisi perut dan dahaganya, tapi biliau enggan meminta malah berdo’a :

رَبِّ لِمَآ اَنْزَلْتَ اِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ

“Ya Tuhan, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan untukku”    (QS. Al-Qashash : 24)

Redaksi do’a Nabi Musa bukan langsung meminta melainkan dengan menunjukkan kefaqirannya, ketika Nabi Musa merasa faqir dihadapan-Nya, berarti beliau juga menganggap (menyaksikan) bahwa Allah Maha Kaya segala-galanya. Karena kefaqirannya pada Allah, telah mencegah Nabi Musa untuk meminta pada selain-Nya. Dengan seperti ini, maka Allah menganggap Nabi Musa meminta dan kemudian memberinya.

3.       Kerendahan Nabi Yunus As.    

لَآاِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ

“Tiada Tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk dari orang-orang yang zhalim” (QS. AL-Anbiya’: 87)

            Ini adalah tasbih Nabi Yunus ketika dilemparkan ke laut dan dimakan ikan paus. Sama halnya dengan Nabi Musa, Nabi Yunus juga tak langsung meminta beliau merendahkan diri dengan mengakui segala kezhaliman yang diperbuat. Allah Maha mendengar lalu membebaskan Nabi Yunus dari perut ikan paus. Seandainya Nabi Yunus tak bertasbih seperti itu niscaya beliau akan berada di perut ikan paus hingga hari kiamat.

            Kerendahan diri seperti ini juga bentuk dari ketidak berdayaan kita dihadapan Allah. Guru kami KH. Imam Barmawi mengajarkan agar dalam setiap do’a kita selalu menyisipkan permohonan ampun pada Allah. Kita tak tahu dan mungkin juga tak menyadari kapan dosa masuk ke catatan amal kita, maka dari itu selalulah memohon ampun setiap berkesempatan untuk berdo’a.  

 

            Dari tiga Nabi diatas kita bisa mengambil satu hal yang sama dari cara berdo’a mereka, yaitu tak banyak menuntut. Nabi Ibrahimtidak semerta-merta berdo’a ‘selamatkan aku ya Allah!’ Nabi Musa juga tak langsung berdo’a ‘beri aku makan ya Allah’ Nabi Yunus pun tak meminta ‘keluarkan aku ya Allah’. Bentuk kefaqiran atau rasa butuh itu bukan dengan menuntut, tapi dengan cara memohon. Mereka semua merendahkan diri, menunjukan betapa butuhnya, dan menyerahkan  segalanya pada Allah yang Maha Mengetahui.


Kaya di Hadapan Makhluk

            Pada umumnya, orang mengartikan kaya sebagai harta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)pun kaya diartikan banyak harta. Satu hal pasti bahwa di zaman ini kaya adalah tujuan sebagian besar umat. Tolok ukur kesuksesan dilihat dari harta benda yang mampu ia kumpulkan. Derajat manusia pun dibeda-bedakan sesuai uang yang ia miliki. Keadilan pun kini dikendalikan oleh kekayaan.

            Akan tetapi dalam agama rahmat ini, “kekayaan bukanlah kaya harta benda, akan tetapi kekayaan adalah kaya hati” (HR. Bukhori & Muslim).yaitu orang-orang yang merasa kaya karena ia yakin bahwa Tuhannya Maha kaya “aku kaya karena aku hambanya Yang Maha kaya”. Karena ia menyelami ayat :

واَنَّهُ هُوَ اَغْنٰى وَاَقْنٰى

“dan bahwasanya Dia memberikan kekayaan dan kecukupan”(QS. AN-Najm :48)

 

            Yang Allah anugerahkan pada kita adalah kaya dan cukup. Lalu kenapa kita miskin? Karena kita sendirilah yang berburuk sangka pada Allah. Sesungguhnya miskin itu hanyalah pendapat manusia, kita miskin karena kita sendirilah yang tak pandai-pandai bersikap kaya dihadapan makhluk. ‘Bersikap kaya’ yang dimaksud bukanlah bersikap sombong, tetapi  bersikap sebagai berikut :

 

1.      Tak pernah merasa kurang

Sebuah kekeliruan memotivasi yang pernah kami dengar  adalah “Rahasia sukses adalah saya tak pernah merasa puas terhadap apa yang saya capai, sehingga memacu saya untuk terus maju”, inilah bentuk kemiskinan yang sesungguhnya. Selalu merasa kurang, kurang, kurang... hingga kapan?. Inilah yang disebut :

الَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَه

“yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya”(QS. Al-Humazah:2)

 

Kita ambillah perumpamaan seorang koruptor, telah banyak uang rakyat yang ia makan, lantas apakah ia berhenti? Tidak, ia terus korupsi hingga KPK menangkapnya. Inilah kemiskinan sejati, selalu merasa kurang. Hal seperti itu sebenarnya memunculkan ketakutan dalam hatinya, setiap malam tidurnya tak nyenyak karena memikirkan hari esok yang entah hartanya akan bertambah atau berkurang.

Oleh karena itu pandai-pandailah mengkayakan hati ini dengan bersyukur dan merasa cukup atas anugerah Allah. Sebaliknya hati yang bersyukur mendatangkan ketentraman dan keceriaan. Lihatlah para petani yang bekerja dibawah siraman terik mentari, mereka masih bisa bekerja sambil tertawa dan bernyanyi bahagia bersama kicau burung, karena mereka pandai bersyukur. Lalu lihatlah betapa banyak orang yang diakui sukses, bekerja dibawah naungan gedung berlantai tujuh, namun malamnya dipenuhi kegelisahan, karena otak yang terus digentayangi ancaman kebangkrutan.

 

2.      Tak suka bergantung pada makhluk

اللّٰهُ الصَّمَدُ

Allah-lah tempat bergantung”(QS. Al-Ikhlas:2)

           

Orang yang memahami ayat ini pasti akan menjauhkan dirinya dari meminta-minta, dia hanya akan meminta ketika sangat darurat, yaitu apabila tidak meminta dapat membuatnya mati.   Hal tersebut dikarenakan ia benar-benar ingin mempraktekkan ayat :

 

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّكَ نَسْتَعِيْنُ

“Hanya pada-Mu lah kami menyembah dan hanya pada-Mu lah kami meminta pertolongan”

 

Jadi keyakinannya pada Tuhannya membuatnya enggan untuk meminta pada selain Allah, segala kebutuhan serta permasalahannya semua dicurhatkan pada Allah seperti inilah profil orang kaya.  Namun perlu digaris bawahi bahwa pantangannya adalah meminta, tapi apabila diberi bisa kita diterima dengan niat agar tidak menyakiti hati si pemberi.

 

3.       Tidak merasa butuh pada hartanya

Jadi hakikat kekayaan yang sesungguhnya itu ialah ia yang mampu memanjemen harta bukan di manajemen harta. Orang kaya tak lupa daratan, ia betul-betul sadar bahwa kelebihan hartanya itu merupakan bonus dari Allah dan ada hak yang harus dikeluarkan disana.

 

Maka janganlah takut-takut atau ragu mengeluarkan hartamu untuk shadaqoh atau infaq, hal seperti menjadi kewajiban sosial bagi manusia. Tidak sedikit kita ketahui orang yang kelebihan hartanya itu malah pelit, uang sudah dijadikan tuannya. Jangankan untuk orang lain, untuk diri sendiripun pelitnya minta ampun, yang dipikirkan bagaimana bisa usaha tanpa modal tapi untungnya banyak. Ketika disuruh berinfaq jawabnya “ini hasil kerja kerasku, kok mau dikasih orang”. Prinsip mereka adalah pelit pangkal kaya. Padahal jangankan seperti itu, hemat pangkal kaya pun sedikit keliru, karena yang paling benar adalah shodaqoh pangkal kaya, syukur pangkal kaya.

 

(وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (19

“dan dalam harta mereka ada haq untuk para peminta dan yang membutuhkan”. (QS. Adz-Dzariyat :19)

 

Bukannya orang kaya yang kelebihan hartanya itu buruk, karena kita tak bisa menilai baik atau buruk sesorang hanya berdasarkan hartanya. Namun bagaimana seseorang agar bisa bersikap tiga hal diatas, sebanyak atau sesedikit apapun hartanya, jika tiga hal diatas diambil sikap oleh kita, maka kita akan terlihat kaya dihadapan makhluk bahkan dihadapan Allah kitalah orang kaya sejati.


Sabtu, 30 Mei 2020

Kemana Cinta Bermuara?

             Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cinta berarti suka sekali, atau sayang benar. Dalam pengertian lain juga dikatakan bahwa cinta adalah munculnya rasa untuk memiliki sesuatu yang kita cintai itu.  Yang lain juga berpendapat cinta adalah rasa senang bertemu atau bersama dia yang kita cintai. Huh... kalo bicara soal pengertian cinta tak akan ada habisnya. Karena pada faktanya cinta itu relatif, pengertiannya tergantung pada setiap orang yang merasakannya.

            Dikatakan kalau kau bertanya pada seribu orang yang berbeda tentang cinta mungkin kau akan mendapatkan seribu jawaban yang berbeda pula, bahkan jika kau bertanya pada orang tertentu tentang cinta seratus kali, bisa jadi kau juga akan mendapat seratus jawaban yang berbeda. Tapi disini bukan pengertian cinta yang ingin dibahas, tapi tentang siapa yang pantas dicintai?. Karena cinta itu juga merupakan salah satu fitnah untuk menguji manusia. Akhir-akhir ini terdapat banyak sekali kekeliruan orang dalam memaknai cinta disebabkan ia menempatkan cinta pada orang yang salah.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-Imran :14)

Lalu siapa yang sebenarnya pantas dicintai?.

1.      Allah Swt.

Sudah sepatutnya bagi seorang mukmin untuk mencintai Tuhannya, itulah alasan dibalik mengapa bayi yang baru lahir diadzani ditelinga kanan, dan iqamat di telinga kirinya, agar yang pertama kali mereka kenali adalah Tuhannya.

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ......

"Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah"(QS. Al-Baqoroh : 165)

Bagaimana tidak cinta? Allah yang telah menghidupkan kita, melindungi, memberi rizqi serta rahmat-Nya pada kita. Wajiblah bagi seorang mukmin untuk menempatkan Allah pada urutan pertama sebagai Dzat yang dicintainya. Kita lihat para pendahulu kita, mereka rela tidak tidur semalaman suntuk demi cintanya pada Allah Swt., di kejadian lain bahkan rela mengorbankan harta dan jiwa mereka.

Jika tak mampu melakukan amalan sedemikian rupa untuk membuktikan cinta, maka gunakanlah ucapan kita, agungkan rasa cinta pada Tuhanmu dengan lisan, jika masih tak mampu pula, maka gunakan perasaan, mengaku cinta Allah dari hati terdalam.

2.      Rasulullah Muhammad SAW

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Salah seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

             Sahabat Khubaib bin Adi berkata sebelum ia  dihukum mati oleh orang-orang kafir Quraisy “aku tak akan membiarkan Muhammad tertusuk duri pun, hanya agar bisa duduk di rumah bersama keluargaku”. Bahkan di sisi lain juga ada ungkapan yang merupakan semboyan dari para sahabat “biarkan ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.” Hal tersebut menunjukan betapa luar biasanya cinta para sahabat pada Nabi Muhammad.

            Mengapa kita harus mencintai beliau? Karena beliau juga mencintai kita sebagai umatnya. Setiap Nabi itu punya mukjizat luar biasa sebagai bentuk pertolongan Allah dalam menghadapi kaumnya.. seperti bahtera Nabi Nuh, Tongkat Nabi Musa, Unta Nabi Shaleh dan sebagainya. Namun Nabi Muhammad tak menggunakan kesempatan untuk itu. Nabi Muhammad mengubah kesempatan tersebut untuk dijadikan syafaat bagi umatnya kelak. Kenapa Nabi melakukan itu, karena kasih sayang dan cintanya pada umat.

            Juga kisah ketika Rasulullah hendak mangkat Intaqo Ila Rofiqil A’la yang beliau ingat bukan ahli bait, melinkan kita umatnya. Beliau bersabda ‘Ummatii.. Ummatii.. Ummati...’ beliau rela menahan sakaratul maut yang begitu dahsyat demi meringankan sakaratul maut umatya. Sedemikian besar cintanya pada kita, lalu pantaskah kita tak mencintainya. Bayangkan betapa sakit hati Nabi ketika umatnya tidak mencintainya. Kalian yang pernah tertolak cintanya pasti tau. Bukanlah umat Muhammad yang tak mencintai Muhammad.

3.      Orang Tua

Pepatah mengatakan “Jika anak jatuh ke sumur, orangtua akan langsung meloncat ke sumur demi menolong anaknya itu, sedangkan jika orangtua jatuh ke sumur si anak akan berpikir terlebih dahulu bagaimana cara untuk menyelamatkan orang tuanya.” Cinta anak pada orangtua itu masih melibatkan akal didalamnya, sementara cinta orangtua pada anak menghilangkan akal fikiran, saking besarnya.

Banyak sekali dalil yang menyatakan keharusan mencintai orangtua, tapi seharusnya bukan karena itu kita mencintai mereka, tak usah menunggu perintah Tuhan untuk mencintai ibu dan bapak, bagaimana mereka merawat kita sejak lahir, tumbuh hingga dewasa, segala jerih payah mereka membiayai hidup dan pendidikan kita. Semua itu seharusnya secara otomatis membuat kita cinta pada mereka. Jika masih belum menjadi cinta, maka selama itu ia bisa dianggap anak durhaka.

4.      Istri/Suami

Nah, jadi istri/suami itu masih berada di urutan keempat orang yang patut dicintai. Maka dari itu jangan sampai istri-istrimu membuatmu lalai untuk melaksanakan kewajiban Tuhanmu, jangan sampai membuatmu berpaling dari rasulmu, jangan sampai lebih diutamakan daripada orang tuamu.

وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ

tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah (HR. Bukhari dan Muslim)

Salah satu tanda cinta karena Allah adalah tambah dan tumbuhnya kebaikan pasangan sehabis pernikahan. Semakin taatnya pada Allah, semakin dekat pada Allah karena si dia. Karena sejak awal niatnya nikah ya memang niat untuk ibadah, mengikuti sunnah Rasul, niat bersama untuk menuju Allah 

            Selain empat hal diatas sebenarnya masih banyak objek yang bisa kita cintai, seperti harta, keturunan, dan lain-lain. namun segala cinta pada akhirnya akan tetap bermuara pada empat diatas. Kita mencintai anak karena istri, mencintai istri karena orang tua, hingga ujung-ujungnya pun mencintai karena Allah dan Rasul-Nya. itulah yang disebut muara cinta yang sesungguhnya.

Jumat, 29 Mei 2020

Filosofi Anjing Pemburu


وَمَا عَلَّمْتُمْ مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّآ اَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

Dan  (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang Allah ajarkan padamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepsnya)” (Qs. Al-Maidah : 4)

            Potongan ayat keempat dari surat Al-Maidah diatas menjelaskan secara kongkrit tentang hukum makanan atau daging yang ditangkap oleh binatang pemburu seperti anjing, elang dan sebagainya.

            Disisi lain juga terdapat beberapa nilai filosofis dari isi kandungan ayat tersebut. Kalam hikmah yang bisa kita koleksi sebagai butiran bekal perjalanan hidup kita, terutama bagi pemuda-pemuda milenial yang kini sedang memburu ilmu, seperti pelajar, mahasiswa ataupun para santri di pesantren.

1.      Anjing sebagai cermin kerendahan hati

Dari berbagai jenis hewan yang bisa dijadikan binatang pemburu, anjinglah yang paling sering disinggung dalam beberapa kitab tafsir tentang ayat diatas. Karena pada umumnya, memang anjinglah yang biasa dibawa sebagai teman berburu.

Sebuah korelasi antara anjing pemburu dan seorang penuntut ilmu. Bagaimana mungkin? Anjing yang di cap sebagai hewan hina, najis, liar dan banyak dijauhi orang bisa disamakan dengan seorang penuntut ilmu yang dalam beberapa penjelasan disebut mulia. Disitulah letak korelasinya, atau tepatnya sesuatu yang harus dikorelasikan. Seorang penuntut ilmu, semulia apapun setinggi apapun ia tetap tak boleh merasa tinggi diri, ia harus tetap tawadu’ (rendah diri), sementara anjing dan sifat-sifatnya itu dapat dijadikan cermin dari ketawadu’an. Menurut KH. Maftuh Basthul Birri definisi tawadu’ adalah merasa lebih rendah daripada orang lain, bahkan merasa paling rendah,paling jeleknya makhluk sedunia.

       Jangankan penuntut ilmu, seorang Waliyullah pun mengambil beberapa sifat anjing yang harus dimiliki. Sebagaimana yang dijelaskan Thom Afandi dalm bukunya Ngopi di Pesantren. Sifat-sifat tersebut adalah : 1). Tidak pernah melupakan kebaikan dari siapapun 2). Selalu sabar dan bersyukur 3). Tidak pernah marah pada majikan, bahkan meski ia dipukul atau diusir 4). Rendah hati, penurut, dan jujur 5). Puas dengan hal-hal yang sedikit 6). Tidak memiliki apa-apa 7). Bisa tidur dimana saja dan siap diusir 8). Sangat jarang tidur 9). Dapat dipercaya 10). Ramah 11). Loyal, selalu ingat pada pemiliknya 12). Tak pernah berkhianat.

2.      Belajar dari apa yang diajarkan Allah

Lafadz “tu’allimuunahunna mimma ‘allamakumullah” mengartikan bahwa anjing pemburu yang dimaksud pada ayat ini adalah anjing yang sudah terlatih untuk berburu. Sangat menarik sekali bahwa dalam ayat ini Allah Swt menyinggung kedudukan latihan yang dilakukan terhadap hewan, di antaranya adalah  anjing pemburu. Ayat ini menyebutkan, apa yang telah diajarkan kepada binatang-binatang itu, sesungguhnya Allah Swt telah mengajarkan kepada kalian, dan bukan kalian sendiri yang mengerti pekerjaan semacam ini. Lalu Allah menjadikan seekor anjing liar, dapat menjadi jinak dan dibawah perintah kalian, sehingga apa saja yang kalian surukan dapat ia laksanakan untuk kalian.

Ayat ini menyiratkan betapa pentingnya sanad keilmuan. Bayangkan jika kita berada di posisi si anjing, penting sekali untuk mencari tuan yang benar-benar mampu untuk mengajarinya berburu sesuai dengan hukum Allah. Agar tak sembarang berburu dan Supaya hasil tangkapannya nanti tetap halal ketika dipersembahakan pada sang tuan. Begitu pula seorang pelajar/santri mencari ilmu harus dengan sanad yang jelas, sanad keilmuannya harus betul sampai hingga Nabi Muhammad SAW. Karena yang namanya ilmu muaranya tetap pada Allah nantinya. Ilmu adalah salah satu dari perkara yang akan dimintai pertanggung jawaban olehNya.

3.      Menangkapkan...! bukan menangkap

“Fakuluu mimma amsakna ‘alaikum”, dalam tafsir Ibnu Katsir maksud dari ayat tersebut adalah apa yang ditangkapkan oleh si anjing pemburu itu harus benar-benar hanya ditangkap, tak boleh termakan meski hanya secuil. Pendapat yang benar dari Imam asy-Syafi’i, yaitu bahwa jika anjing itu memakan sebagian dari binatang buruan, maka binatang itu haram secara mutlak.

Pemburu ilmu pun harus memiliki sikap semacam ini. Keikhlasan dalam mengamalkan ilmu yg ia peroleh dari sang guru. Tidak menuntut imbalan apapun ketika ia berkontribusi pada masyarakat dengan ilmunya.

Seorang ahli hikmah berkata “Semua manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu. Semua orang berilmu akan binasa kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Orang yang mengamalkan ilmunya akan binasa kecuali orang yang ikhlas. Mereka yang ikhlas masih dalam kekhawatiran yang agung.” .

 

4.      Ridlo Guru

“wadzkurus mallahi ‘alaih” maksudnya adalah ketika hendak melebas si anjing pemburu untuk menuju manghanya, hendaknya ia dilepaskan sambil mengingat Alah dengan melafadzkan Basmalah, sebagaimana memmbaca basmalahnya orang yang hendak menyembelih atau basmalahnya orang yang hendak melepas anak panah dalam perburuan.

Maka dalam pengembaraan ilmu pun sangat diperlukan do’a atau ridlo seorang guru sebagaimana ridlonya seorang pemburu ketika melepas anjingnya. Tanpa ridlo dari guru takkan ada ilmu yang berguna, tak ada kebarokahan dan kemanfaatan sebagaimana tak adanya kehalalan dalam tangkapan anjing pemburu yang dilepas tanpa Asma Allah.


Kisah Guru #3 : Syaikhona Kholil dan si Pecandu Gula


            Sebagai seorang ulama’ yang masyhur kewaliannya, Kyai Kholil Bangkalan seringkali menjadi pakar konsultasi berbagai elemen masyarakat, dari petani,pedagang,pejabat hingga permerintahan kolonial Belanda pun terkadang mendatangi beliau untuk meminta solusi permasalahan, terutama mereka tinggal di sekitaran Pulau Madura.

            Dikisahkan bahwa pernah suatu hari beliau kedatangan tamu, yaitu seorang bapak dari desa. Ternyata si bapak datang untuk mengeluhkan perihal kecanduan anaknya pada gula-gula. “Anak saya tidak mau berhenti makan gula Kyai. Jajanan anak saya kalau tidak permen, ya gula. Saya khawatir anak saya ini terkena penyakit karena kebanyakan makan gula. Tolong saya diberi sesuatu atau obat agar anak saya mau berhenti makan gula.”

            Mendengar keluhan tersebut, Kyai Kholil berpikir sejenak lalu bertanya “bapak ini setiap harinya hanya minum air?”. “tidak Kyai, kadang minum kopi atau teh juga” jawab si bapak. “Pakai gula?” tanya Kyai Kholil kembali. Si bapak kembali mengiyakan.

            Setelah percakapan itu Kyai Kholil malah menyuruh si bapak pulang dan kembali lagi setelah tiga hari dengan membawa anaknya. dalam perjalanan pulang fikiran si bapak dipenuhi dengan pertanyaan, mengapa disuruh pulang bukannya diberi sesuatu atau dido’akan?. Tapi si bapak sudah percaya dengan Kyai. 

            Akhirnya tiga hari berlalu, si bapak datang lagi serta membawa anaknya yang candu gula-gula itu.

            “Nak, kamu jangan suka makan gula lagi ya?” ucap Kyai pada si anak. Serasa aneh saat anak itu mendengarnya, seperti ada ketentraman yang masuk dalam hati, menyegarkan. “Enggeh Kyai.” Jawab si anak. Setelah itu Kyai Kholil tak berbuat apa-apa lagi, malahan mengajak anak itu mengobrol tentang dunia kekanakan. Hal ini tentu membuat si bapak terheran-heran, mengapa tidak dido’akan juga. Ingin menyanggah tapi segan pada Kyai.

            “Saya kira saya sudah menuruti kemauan bapak. Saya sudah menasehati agar anak bapak tidak makan gula lagi.” Kata Kyai tiba-tiba. Bapak yang mendengarnya semakin kebingungan “begitu saja Kyai?” karena tak tahan akhirnya si bapak bertanya lebih lanjut juga. “kenapa anak saya hanya dinasehati seprti itu kyai. Kalau hanya nasehat, saya sebagai bapak sudah tak terhitung lagi menasehatinya."

            “Disitulah permasalahannya?”

            “Maksud kyai?”

            “Begini pak, kenapa sampeyan saya suruh pulang dulu tiga hari kemarin. Karena selama tiga hari itu saya berdo’a dan berpuasa seraya menghindari makan gula. Agar nanti ketika saya menasihati anak bapak. Omongan saya dapat dipercaya.” si bapak manggut-manggut paham sekaligus kagum. ternyata ulama' sekaliber KH. Kholil pun masih perlu seperti itu agar dipercaya omongannya.

            Pelajaran yang patut diambil disini adalah ‘jika ingin ucapanmu dituruti orang, maka pastikan apa yang kau ucap itu sudah biasa kau lakukan lebih dahulu’. Misalkan menyuruh seorang untuk sholat pastikan diri kita sendiri sudah sholat terlebih dahulu. Karena jika kau menyuruhnya sementara dirimu sendiri belum sholat, maka perintahmu hanya sia-sia.

            Akhirnya si bapak tadi pulang dengan membawa kisah keteladanan dari Kyai Kholil yang bisa kita ketahui hingga sekarang.


Batas Mengidolakan Sesuatu

Dunia Hiburan seperti film, musik, olahraga, sosial media, dan sebagainya kini menjadi daya tarik terbesar masyarakat dunia. Hal itu menjadi keuntungan besar bagi mereka yang  mempunyai bakat di bidang tersebut, karena selain melakukannya menyenangkan, dapat uang, dan popularitas mereka meningkat dan mampu menjadi guru tanpa sanad. Simpelnya mereka berhasil menjadi idola.

Kerugiannya adalah bagi mereka yang salah mengidolakannya. Pada dasarnya mengidolakan itu tidak salah, karena dapat memotivasi diri untuk menjadi seperti mereka, misalkan seseorang mengidolakan Albert Einstein maka ia belajar keras demi mengikuti jejak si idola. Namun akhir-akhir ini kami mendapati banyak sekali pengidolaan yang salah. Contohnya banyak orang yang sekarang ini lebih suka mengonsultasikan masalah pada idolanya, masalah apapun. Sebenarnya boleh selama yang dikonsultasikan itu memang bidang bakat dari si idola. Masalahnya jika ada kesalahan berekspetasi, misal bertanya tentang hal ini pada orang yang bidangnya adalah hal itu. Yang dikhawatirkan adalah terjadinya kesalah pengertian dan perilaku yang tak sesuai ajaran sebenarnya. Malah mengikuti apa yang dikatakan si idola.

 Lalu masalah lainnya adalah kemarin kami juga melihat di grup, sebuah postingan yang menyatakan “cintailah mereka seperti mencintai orang tua kalian” ini adalah kesalahan yang amat besar, nyata kesesatannya. Sudah terlalu berlebihan dalam mengidolakan.

Agar terhindar dari hal tersebut, cobalah untuk mengikuti batas-batas mengidolakan berikut :

1.      Tak melebihi Rasulullah SAW


لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. Al-Ahzaab: 21].

            Jelas dan tegas sekali pernyataan Allah Swt. tersebut. Bahwa Rasulullah adalah tauladan atau idola terbaik, wajib bagi seorang yang mengharap rahmat Allah dan hari kiamat untuk mengidolakan Rasulullah. George Bernard Shaw (non-muslim) pula menyatakan bahwa Muhammad merupakan sosok pribadi yang agung, sang penyelamat kemanusiaan. Lebih daripada itu, ia sangat meyakini bahwa apabila Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, maka Muhammad akan berhasil mengatasi segala permasalahan dan ia mampu membawa kedamaian serta kebahagiaan yang dibutuhkan oleh du nia. Lha, yang non muslim aja menyadari keagungan Rasul kita, masa kita yang ‘mengaku’ mukmin tidak?

2.      Mengidolakan seorang muslim

Pastikan sosok yang diidolakan itu adalah muslim, lebih-lebih adalah muslim yang taat. Agar dalam mengikuti/mengidolakannya kita tak menyimpang. Karena beliau-beliaunya berada pada jalan yang sama dengan kita, dan bisa saling mengerti batasan-batasan syari’at dalam menjadi penggemar dan yang di gemari. Alasan lainnya bahwa kita ini meyakini bahwa agama islam adalah agama terbaik, bukankah akan menjadi lucu jika kita malah mengagumi mereka yang berada diluar agama terbaik?

Lalu apakah tidak boleh mengidolakan non-muslim?

3.      Ikuti baiknya saja


الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah golongan ulul albâb.” (QS. Az-Zumar[39]: 18)

 

            Sebagai manusia, seorang muslim tentunya takkan luput dari salah. Bahkan diantara seluruh orang muslim pun masih ada yang fasiq. Oleh karena itu dalam mengidolakan pandai-pandailah dalam mencari kebaikan yang bisa diikuti. Hal ini juga berlaku apabila si idola itu ternyata non-muslim, silahkan mengidolakan non-muslim tapi ikuti baiknya saja. Misalkan seperti tadi ‘mengidolakan seorang Albert Einstein ikuti kegigihannya dalam belajar saja, soal keyakinan atau prinsip mereka yang tak sesuai dengan ajaran kita tak usah diambil

4.      Jangan terlalu fanatis

Kita boleh marah jika ada penghinaan atau pelecehan pada agama kita atau Rasul kita atau orang tua atau seseorang yang memperjuangkan kebenaran, silakan marah jika hal itu terjadi. Namun jika yang kita bela-belain itu hanyalah idola yang bergerak dalam dunia hiburan seperti artis, penyanyi, atlit dan sebagainya, jangan lah berlebihan. Pembelaan kita itu takkan ada artinya, mereka takkan tahu dan meski tahu mereka takkan peduli. Dan caci makian pada mereka itu tak akan mengurangi bayaran mereka. Sejatinya mereka itu hanya penghibur, kita tuannya yang membayar mereka dengan uang listrik, kuota dan sebagainya.

Tapi jika yang kita bela adalah agama, Rasul, orangtua, para ulama’ maka sungguh Allah Maha Tau atas pembelaan kita. Wallahu A’lam

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR.Bukhori)


Senin, 25 Mei 2020

Kisah Guru #2 : Sang Penyayang binatang KH. Abdul Adhim



             Kyai Abdul Adhim adalah pengasuh Pesantren Sidogiri ke-8. Beliau juga merupakan seorang sosok kyai yang senang hidup sederhana, disamping sebagai seorang pengasuh pesantren beliau juga berprofesi sebagai petani. Beliau memiliki banyak sawah dan tegalan yang biasa beliau bacakan wirid setiap sehabis shubuh sambil mengitari sawahnya tersebut.
            Selain itu masyarakat juga mengenalnya sebagai figur yang menyayangi binatang, tidak seperti para petani pada umumnya yang membasmi hama dengan pestisida. Beliau justru menggunakan gula-gula untuk mengalihkan perhatian hama.”Hama-hama tidak mengganggu tanaman tapi memakan gula-gula itu.” dawuh beliau. Kyai Adzim juga tak suka dengan para petani yang menggunakan pestisida, beliau mengkritik “Meski tampak baik, memakai pembasmi hama itu tidak baik.”
            Pernah juga suatu hari, ketika beliau baru pulang undangan dari daerah Kedung Kemaron, Kejayan. Beliau mendapati semut yang menjalar di jasnya, lalu beliau malah menyuruh pada kusirnya agar kembali. Sesampainya di tempat undangan tadi beliau segera meletakkan semut-semut tadi pada sebuah pagar yang beliau yakini sebagai tempat mereka bersarang. Beliau dawuh “Semut ini sama dengan manusia, punyak anak, istri, dan saudara. Kalau dibawa kasihan keluarganya menangis.”
            Salah satu kebiasaan yang lain adalah beliau suka sekali meletakkan empat lepe’an berisi air gula di bawah meja di dalam kediaman beliau. Empat lepe’an tersebut disediakan untuk semut-semut. Saking sayangnya beliau terhadap binatang, jika ada rombongan semut yang berjalan beliau melarang untuk membersihkan. Malahan memberi jalan untuk mempermudah semut-semut iu. Ketika ditanya mengapa sampai sebegitunya sama binatang beliau menjawab “Karena do’anya sesuatu yang tidak berakal itu lebih mustajab daripada manusia.” Beliau terus bersikap lembut pada binatang hingga akhir hayatnya.
            Kira-kira sembilan tahun selepas kewafatannya, yaitu ketika ada penggalian pesarean untuk Kyai Noerhasan bin Nawawie, makam beliau terbongkar sedikit. Ternyata kayu penahan tanah/tsilip di makam beliau masih utuh bahkan masih hijau, seolah-olah baru dipasang. Orang-orang berkomentar tentang hal itu “Maklum, Kyai Abdul Adhim ini semasa hidupnya sangat sayang pada binatang. Tsilipnya tidak dimakan rayap karena segan pada beliau.
            Disini kita dapat mengambil pelajaran bahwa binatangpun makhluq Allah yang harus disayangi seperti dawuhnya Kyai Adhim tadi, Do’a mereka lebih mustajab. Bukankah sudah kita ketahui kisah-kisah dari Rasulullah tentang seorang pelacur yang masuk surga gara-gara menolong anjing yang kehausan, atau sebab diampuninya Sayyidina Umar karena pernah menolong seekor burung pipit.