Cari Blog Ini

Sabtu, 30 Mei 2020

Kemana Cinta Bermuara?

             Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cinta berarti suka sekali, atau sayang benar. Dalam pengertian lain juga dikatakan bahwa cinta adalah munculnya rasa untuk memiliki sesuatu yang kita cintai itu.  Yang lain juga berpendapat cinta adalah rasa senang bertemu atau bersama dia yang kita cintai. Huh... kalo bicara soal pengertian cinta tak akan ada habisnya. Karena pada faktanya cinta itu relatif, pengertiannya tergantung pada setiap orang yang merasakannya.

            Dikatakan kalau kau bertanya pada seribu orang yang berbeda tentang cinta mungkin kau akan mendapatkan seribu jawaban yang berbeda pula, bahkan jika kau bertanya pada orang tertentu tentang cinta seratus kali, bisa jadi kau juga akan mendapat seratus jawaban yang berbeda. Tapi disini bukan pengertian cinta yang ingin dibahas, tapi tentang siapa yang pantas dicintai?. Karena cinta itu juga merupakan salah satu fitnah untuk menguji manusia. Akhir-akhir ini terdapat banyak sekali kekeliruan orang dalam memaknai cinta disebabkan ia menempatkan cinta pada orang yang salah.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-Imran :14)

Lalu siapa yang sebenarnya pantas dicintai?.

1.      Allah Swt.

Sudah sepatutnya bagi seorang mukmin untuk mencintai Tuhannya, itulah alasan dibalik mengapa bayi yang baru lahir diadzani ditelinga kanan, dan iqamat di telinga kirinya, agar yang pertama kali mereka kenali adalah Tuhannya.

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ......

"Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah"(QS. Al-Baqoroh : 165)

Bagaimana tidak cinta? Allah yang telah menghidupkan kita, melindungi, memberi rizqi serta rahmat-Nya pada kita. Wajiblah bagi seorang mukmin untuk menempatkan Allah pada urutan pertama sebagai Dzat yang dicintainya. Kita lihat para pendahulu kita, mereka rela tidak tidur semalaman suntuk demi cintanya pada Allah Swt., di kejadian lain bahkan rela mengorbankan harta dan jiwa mereka.

Jika tak mampu melakukan amalan sedemikian rupa untuk membuktikan cinta, maka gunakanlah ucapan kita, agungkan rasa cinta pada Tuhanmu dengan lisan, jika masih tak mampu pula, maka gunakan perasaan, mengaku cinta Allah dari hati terdalam.

2.      Rasulullah Muhammad SAW

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Salah seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

             Sahabat Khubaib bin Adi berkata sebelum ia  dihukum mati oleh orang-orang kafir Quraisy “aku tak akan membiarkan Muhammad tertusuk duri pun, hanya agar bisa duduk di rumah bersama keluargaku”. Bahkan di sisi lain juga ada ungkapan yang merupakan semboyan dari para sahabat “biarkan ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.” Hal tersebut menunjukan betapa luar biasanya cinta para sahabat pada Nabi Muhammad.

            Mengapa kita harus mencintai beliau? Karena beliau juga mencintai kita sebagai umatnya. Setiap Nabi itu punya mukjizat luar biasa sebagai bentuk pertolongan Allah dalam menghadapi kaumnya.. seperti bahtera Nabi Nuh, Tongkat Nabi Musa, Unta Nabi Shaleh dan sebagainya. Namun Nabi Muhammad tak menggunakan kesempatan untuk itu. Nabi Muhammad mengubah kesempatan tersebut untuk dijadikan syafaat bagi umatnya kelak. Kenapa Nabi melakukan itu, karena kasih sayang dan cintanya pada umat.

            Juga kisah ketika Rasulullah hendak mangkat Intaqo Ila Rofiqil A’la yang beliau ingat bukan ahli bait, melinkan kita umatnya. Beliau bersabda ‘Ummatii.. Ummatii.. Ummati...’ beliau rela menahan sakaratul maut yang begitu dahsyat demi meringankan sakaratul maut umatya. Sedemikian besar cintanya pada kita, lalu pantaskah kita tak mencintainya. Bayangkan betapa sakit hati Nabi ketika umatnya tidak mencintainya. Kalian yang pernah tertolak cintanya pasti tau. Bukanlah umat Muhammad yang tak mencintai Muhammad.

3.      Orang Tua

Pepatah mengatakan “Jika anak jatuh ke sumur, orangtua akan langsung meloncat ke sumur demi menolong anaknya itu, sedangkan jika orangtua jatuh ke sumur si anak akan berpikir terlebih dahulu bagaimana cara untuk menyelamatkan orang tuanya.” Cinta anak pada orangtua itu masih melibatkan akal didalamnya, sementara cinta orangtua pada anak menghilangkan akal fikiran, saking besarnya.

Banyak sekali dalil yang menyatakan keharusan mencintai orangtua, tapi seharusnya bukan karena itu kita mencintai mereka, tak usah menunggu perintah Tuhan untuk mencintai ibu dan bapak, bagaimana mereka merawat kita sejak lahir, tumbuh hingga dewasa, segala jerih payah mereka membiayai hidup dan pendidikan kita. Semua itu seharusnya secara otomatis membuat kita cinta pada mereka. Jika masih belum menjadi cinta, maka selama itu ia bisa dianggap anak durhaka.

4.      Istri/Suami

Nah, jadi istri/suami itu masih berada di urutan keempat orang yang patut dicintai. Maka dari itu jangan sampai istri-istrimu membuatmu lalai untuk melaksanakan kewajiban Tuhanmu, jangan sampai membuatmu berpaling dari rasulmu, jangan sampai lebih diutamakan daripada orang tuamu.

وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ

tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah (HR. Bukhari dan Muslim)

Salah satu tanda cinta karena Allah adalah tambah dan tumbuhnya kebaikan pasangan sehabis pernikahan. Semakin taatnya pada Allah, semakin dekat pada Allah karena si dia. Karena sejak awal niatnya nikah ya memang niat untuk ibadah, mengikuti sunnah Rasul, niat bersama untuk menuju Allah 

            Selain empat hal diatas sebenarnya masih banyak objek yang bisa kita cintai, seperti harta, keturunan, dan lain-lain. namun segala cinta pada akhirnya akan tetap bermuara pada empat diatas. Kita mencintai anak karena istri, mencintai istri karena orang tua, hingga ujung-ujungnya pun mencintai karena Allah dan Rasul-Nya. itulah yang disebut muara cinta yang sesungguhnya.

Jumat, 29 Mei 2020

Filosofi Anjing Pemburu


وَمَا عَلَّمْتُمْ مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّآ اَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

Dan  (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang Allah ajarkan padamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepsnya)” (Qs. Al-Maidah : 4)

            Potongan ayat keempat dari surat Al-Maidah diatas menjelaskan secara kongkrit tentang hukum makanan atau daging yang ditangkap oleh binatang pemburu seperti anjing, elang dan sebagainya.

            Disisi lain juga terdapat beberapa nilai filosofis dari isi kandungan ayat tersebut. Kalam hikmah yang bisa kita koleksi sebagai butiran bekal perjalanan hidup kita, terutama bagi pemuda-pemuda milenial yang kini sedang memburu ilmu, seperti pelajar, mahasiswa ataupun para santri di pesantren.

1.      Anjing sebagai cermin kerendahan hati

Dari berbagai jenis hewan yang bisa dijadikan binatang pemburu, anjinglah yang paling sering disinggung dalam beberapa kitab tafsir tentang ayat diatas. Karena pada umumnya, memang anjinglah yang biasa dibawa sebagai teman berburu.

Sebuah korelasi antara anjing pemburu dan seorang penuntut ilmu. Bagaimana mungkin? Anjing yang di cap sebagai hewan hina, najis, liar dan banyak dijauhi orang bisa disamakan dengan seorang penuntut ilmu yang dalam beberapa penjelasan disebut mulia. Disitulah letak korelasinya, atau tepatnya sesuatu yang harus dikorelasikan. Seorang penuntut ilmu, semulia apapun setinggi apapun ia tetap tak boleh merasa tinggi diri, ia harus tetap tawadu’ (rendah diri), sementara anjing dan sifat-sifatnya itu dapat dijadikan cermin dari ketawadu’an. Menurut KH. Maftuh Basthul Birri definisi tawadu’ adalah merasa lebih rendah daripada orang lain, bahkan merasa paling rendah,paling jeleknya makhluk sedunia.

       Jangankan penuntut ilmu, seorang Waliyullah pun mengambil beberapa sifat anjing yang harus dimiliki. Sebagaimana yang dijelaskan Thom Afandi dalm bukunya Ngopi di Pesantren. Sifat-sifat tersebut adalah : 1). Tidak pernah melupakan kebaikan dari siapapun 2). Selalu sabar dan bersyukur 3). Tidak pernah marah pada majikan, bahkan meski ia dipukul atau diusir 4). Rendah hati, penurut, dan jujur 5). Puas dengan hal-hal yang sedikit 6). Tidak memiliki apa-apa 7). Bisa tidur dimana saja dan siap diusir 8). Sangat jarang tidur 9). Dapat dipercaya 10). Ramah 11). Loyal, selalu ingat pada pemiliknya 12). Tak pernah berkhianat.

2.      Belajar dari apa yang diajarkan Allah

Lafadz “tu’allimuunahunna mimma ‘allamakumullah” mengartikan bahwa anjing pemburu yang dimaksud pada ayat ini adalah anjing yang sudah terlatih untuk berburu. Sangat menarik sekali bahwa dalam ayat ini Allah Swt menyinggung kedudukan latihan yang dilakukan terhadap hewan, di antaranya adalah  anjing pemburu. Ayat ini menyebutkan, apa yang telah diajarkan kepada binatang-binatang itu, sesungguhnya Allah Swt telah mengajarkan kepada kalian, dan bukan kalian sendiri yang mengerti pekerjaan semacam ini. Lalu Allah menjadikan seekor anjing liar, dapat menjadi jinak dan dibawah perintah kalian, sehingga apa saja yang kalian surukan dapat ia laksanakan untuk kalian.

Ayat ini menyiratkan betapa pentingnya sanad keilmuan. Bayangkan jika kita berada di posisi si anjing, penting sekali untuk mencari tuan yang benar-benar mampu untuk mengajarinya berburu sesuai dengan hukum Allah. Agar tak sembarang berburu dan Supaya hasil tangkapannya nanti tetap halal ketika dipersembahakan pada sang tuan. Begitu pula seorang pelajar/santri mencari ilmu harus dengan sanad yang jelas, sanad keilmuannya harus betul sampai hingga Nabi Muhammad SAW. Karena yang namanya ilmu muaranya tetap pada Allah nantinya. Ilmu adalah salah satu dari perkara yang akan dimintai pertanggung jawaban olehNya.

3.      Menangkapkan...! bukan menangkap

“Fakuluu mimma amsakna ‘alaikum”, dalam tafsir Ibnu Katsir maksud dari ayat tersebut adalah apa yang ditangkapkan oleh si anjing pemburu itu harus benar-benar hanya ditangkap, tak boleh termakan meski hanya secuil. Pendapat yang benar dari Imam asy-Syafi’i, yaitu bahwa jika anjing itu memakan sebagian dari binatang buruan, maka binatang itu haram secara mutlak.

Pemburu ilmu pun harus memiliki sikap semacam ini. Keikhlasan dalam mengamalkan ilmu yg ia peroleh dari sang guru. Tidak menuntut imbalan apapun ketika ia berkontribusi pada masyarakat dengan ilmunya.

Seorang ahli hikmah berkata “Semua manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu. Semua orang berilmu akan binasa kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Orang yang mengamalkan ilmunya akan binasa kecuali orang yang ikhlas. Mereka yang ikhlas masih dalam kekhawatiran yang agung.” .

 

4.      Ridlo Guru

“wadzkurus mallahi ‘alaih” maksudnya adalah ketika hendak melebas si anjing pemburu untuk menuju manghanya, hendaknya ia dilepaskan sambil mengingat Alah dengan melafadzkan Basmalah, sebagaimana memmbaca basmalahnya orang yang hendak menyembelih atau basmalahnya orang yang hendak melepas anak panah dalam perburuan.

Maka dalam pengembaraan ilmu pun sangat diperlukan do’a atau ridlo seorang guru sebagaimana ridlonya seorang pemburu ketika melepas anjingnya. Tanpa ridlo dari guru takkan ada ilmu yang berguna, tak ada kebarokahan dan kemanfaatan sebagaimana tak adanya kehalalan dalam tangkapan anjing pemburu yang dilepas tanpa Asma Allah.


Kisah Guru #3 : Syaikhona Kholil dan si Pecandu Gula


            Sebagai seorang ulama’ yang masyhur kewaliannya, Kyai Kholil Bangkalan seringkali menjadi pakar konsultasi berbagai elemen masyarakat, dari petani,pedagang,pejabat hingga permerintahan kolonial Belanda pun terkadang mendatangi beliau untuk meminta solusi permasalahan, terutama mereka tinggal di sekitaran Pulau Madura.

            Dikisahkan bahwa pernah suatu hari beliau kedatangan tamu, yaitu seorang bapak dari desa. Ternyata si bapak datang untuk mengeluhkan perihal kecanduan anaknya pada gula-gula. “Anak saya tidak mau berhenti makan gula Kyai. Jajanan anak saya kalau tidak permen, ya gula. Saya khawatir anak saya ini terkena penyakit karena kebanyakan makan gula. Tolong saya diberi sesuatu atau obat agar anak saya mau berhenti makan gula.”

            Mendengar keluhan tersebut, Kyai Kholil berpikir sejenak lalu bertanya “bapak ini setiap harinya hanya minum air?”. “tidak Kyai, kadang minum kopi atau teh juga” jawab si bapak. “Pakai gula?” tanya Kyai Kholil kembali. Si bapak kembali mengiyakan.

            Setelah percakapan itu Kyai Kholil malah menyuruh si bapak pulang dan kembali lagi setelah tiga hari dengan membawa anaknya. dalam perjalanan pulang fikiran si bapak dipenuhi dengan pertanyaan, mengapa disuruh pulang bukannya diberi sesuatu atau dido’akan?. Tapi si bapak sudah percaya dengan Kyai. 

            Akhirnya tiga hari berlalu, si bapak datang lagi serta membawa anaknya yang candu gula-gula itu.

            “Nak, kamu jangan suka makan gula lagi ya?” ucap Kyai pada si anak. Serasa aneh saat anak itu mendengarnya, seperti ada ketentraman yang masuk dalam hati, menyegarkan. “Enggeh Kyai.” Jawab si anak. Setelah itu Kyai Kholil tak berbuat apa-apa lagi, malahan mengajak anak itu mengobrol tentang dunia kekanakan. Hal ini tentu membuat si bapak terheran-heran, mengapa tidak dido’akan juga. Ingin menyanggah tapi segan pada Kyai.

            “Saya kira saya sudah menuruti kemauan bapak. Saya sudah menasehati agar anak bapak tidak makan gula lagi.” Kata Kyai tiba-tiba. Bapak yang mendengarnya semakin kebingungan “begitu saja Kyai?” karena tak tahan akhirnya si bapak bertanya lebih lanjut juga. “kenapa anak saya hanya dinasehati seprti itu kyai. Kalau hanya nasehat, saya sebagai bapak sudah tak terhitung lagi menasehatinya."

            “Disitulah permasalahannya?”

            “Maksud kyai?”

            “Begini pak, kenapa sampeyan saya suruh pulang dulu tiga hari kemarin. Karena selama tiga hari itu saya berdo’a dan berpuasa seraya menghindari makan gula. Agar nanti ketika saya menasihati anak bapak. Omongan saya dapat dipercaya.” si bapak manggut-manggut paham sekaligus kagum. ternyata ulama' sekaliber KH. Kholil pun masih perlu seperti itu agar dipercaya omongannya.

            Pelajaran yang patut diambil disini adalah ‘jika ingin ucapanmu dituruti orang, maka pastikan apa yang kau ucap itu sudah biasa kau lakukan lebih dahulu’. Misalkan menyuruh seorang untuk sholat pastikan diri kita sendiri sudah sholat terlebih dahulu. Karena jika kau menyuruhnya sementara dirimu sendiri belum sholat, maka perintahmu hanya sia-sia.

            Akhirnya si bapak tadi pulang dengan membawa kisah keteladanan dari Kyai Kholil yang bisa kita ketahui hingga sekarang.


Batas Mengidolakan Sesuatu

Dunia Hiburan seperti film, musik, olahraga, sosial media, dan sebagainya kini menjadi daya tarik terbesar masyarakat dunia. Hal itu menjadi keuntungan besar bagi mereka yang  mempunyai bakat di bidang tersebut, karena selain melakukannya menyenangkan, dapat uang, dan popularitas mereka meningkat dan mampu menjadi guru tanpa sanad. Simpelnya mereka berhasil menjadi idola.

Kerugiannya adalah bagi mereka yang salah mengidolakannya. Pada dasarnya mengidolakan itu tidak salah, karena dapat memotivasi diri untuk menjadi seperti mereka, misalkan seseorang mengidolakan Albert Einstein maka ia belajar keras demi mengikuti jejak si idola. Namun akhir-akhir ini kami mendapati banyak sekali pengidolaan yang salah. Contohnya banyak orang yang sekarang ini lebih suka mengonsultasikan masalah pada idolanya, masalah apapun. Sebenarnya boleh selama yang dikonsultasikan itu memang bidang bakat dari si idola. Masalahnya jika ada kesalahan berekspetasi, misal bertanya tentang hal ini pada orang yang bidangnya adalah hal itu. Yang dikhawatirkan adalah terjadinya kesalah pengertian dan perilaku yang tak sesuai ajaran sebenarnya. Malah mengikuti apa yang dikatakan si idola.

 Lalu masalah lainnya adalah kemarin kami juga melihat di grup, sebuah postingan yang menyatakan “cintailah mereka seperti mencintai orang tua kalian” ini adalah kesalahan yang amat besar, nyata kesesatannya. Sudah terlalu berlebihan dalam mengidolakan.

Agar terhindar dari hal tersebut, cobalah untuk mengikuti batas-batas mengidolakan berikut :

1.      Tak melebihi Rasulullah SAW


لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. Al-Ahzaab: 21].

            Jelas dan tegas sekali pernyataan Allah Swt. tersebut. Bahwa Rasulullah adalah tauladan atau idola terbaik, wajib bagi seorang yang mengharap rahmat Allah dan hari kiamat untuk mengidolakan Rasulullah. George Bernard Shaw (non-muslim) pula menyatakan bahwa Muhammad merupakan sosok pribadi yang agung, sang penyelamat kemanusiaan. Lebih daripada itu, ia sangat meyakini bahwa apabila Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, maka Muhammad akan berhasil mengatasi segala permasalahan dan ia mampu membawa kedamaian serta kebahagiaan yang dibutuhkan oleh du nia. Lha, yang non muslim aja menyadari keagungan Rasul kita, masa kita yang ‘mengaku’ mukmin tidak?

2.      Mengidolakan seorang muslim

Pastikan sosok yang diidolakan itu adalah muslim, lebih-lebih adalah muslim yang taat. Agar dalam mengikuti/mengidolakannya kita tak menyimpang. Karena beliau-beliaunya berada pada jalan yang sama dengan kita, dan bisa saling mengerti batasan-batasan syari’at dalam menjadi penggemar dan yang di gemari. Alasan lainnya bahwa kita ini meyakini bahwa agama islam adalah agama terbaik, bukankah akan menjadi lucu jika kita malah mengagumi mereka yang berada diluar agama terbaik?

Lalu apakah tidak boleh mengidolakan non-muslim?

3.      Ikuti baiknya saja


الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah golongan ulul albâb.” (QS. Az-Zumar[39]: 18)

 

            Sebagai manusia, seorang muslim tentunya takkan luput dari salah. Bahkan diantara seluruh orang muslim pun masih ada yang fasiq. Oleh karena itu dalam mengidolakan pandai-pandailah dalam mencari kebaikan yang bisa diikuti. Hal ini juga berlaku apabila si idola itu ternyata non-muslim, silahkan mengidolakan non-muslim tapi ikuti baiknya saja. Misalkan seperti tadi ‘mengidolakan seorang Albert Einstein ikuti kegigihannya dalam belajar saja, soal keyakinan atau prinsip mereka yang tak sesuai dengan ajaran kita tak usah diambil

4.      Jangan terlalu fanatis

Kita boleh marah jika ada penghinaan atau pelecehan pada agama kita atau Rasul kita atau orang tua atau seseorang yang memperjuangkan kebenaran, silakan marah jika hal itu terjadi. Namun jika yang kita bela-belain itu hanyalah idola yang bergerak dalam dunia hiburan seperti artis, penyanyi, atlit dan sebagainya, jangan lah berlebihan. Pembelaan kita itu takkan ada artinya, mereka takkan tahu dan meski tahu mereka takkan peduli. Dan caci makian pada mereka itu tak akan mengurangi bayaran mereka. Sejatinya mereka itu hanya penghibur, kita tuannya yang membayar mereka dengan uang listrik, kuota dan sebagainya.

Tapi jika yang kita bela adalah agama, Rasul, orangtua, para ulama’ maka sungguh Allah Maha Tau atas pembelaan kita. Wallahu A’lam

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR.Bukhori)


Senin, 25 Mei 2020

Kisah Guru #2 : Sang Penyayang binatang KH. Abdul Adhim



             Kyai Abdul Adhim adalah pengasuh Pesantren Sidogiri ke-8. Beliau juga merupakan seorang sosok kyai yang senang hidup sederhana, disamping sebagai seorang pengasuh pesantren beliau juga berprofesi sebagai petani. Beliau memiliki banyak sawah dan tegalan yang biasa beliau bacakan wirid setiap sehabis shubuh sambil mengitari sawahnya tersebut.
            Selain itu masyarakat juga mengenalnya sebagai figur yang menyayangi binatang, tidak seperti para petani pada umumnya yang membasmi hama dengan pestisida. Beliau justru menggunakan gula-gula untuk mengalihkan perhatian hama.”Hama-hama tidak mengganggu tanaman tapi memakan gula-gula itu.” dawuh beliau. Kyai Adzim juga tak suka dengan para petani yang menggunakan pestisida, beliau mengkritik “Meski tampak baik, memakai pembasmi hama itu tidak baik.”
            Pernah juga suatu hari, ketika beliau baru pulang undangan dari daerah Kedung Kemaron, Kejayan. Beliau mendapati semut yang menjalar di jasnya, lalu beliau malah menyuruh pada kusirnya agar kembali. Sesampainya di tempat undangan tadi beliau segera meletakkan semut-semut tadi pada sebuah pagar yang beliau yakini sebagai tempat mereka bersarang. Beliau dawuh “Semut ini sama dengan manusia, punyak anak, istri, dan saudara. Kalau dibawa kasihan keluarganya menangis.”
            Salah satu kebiasaan yang lain adalah beliau suka sekali meletakkan empat lepe’an berisi air gula di bawah meja di dalam kediaman beliau. Empat lepe’an tersebut disediakan untuk semut-semut. Saking sayangnya beliau terhadap binatang, jika ada rombongan semut yang berjalan beliau melarang untuk membersihkan. Malahan memberi jalan untuk mempermudah semut-semut iu. Ketika ditanya mengapa sampai sebegitunya sama binatang beliau menjawab “Karena do’anya sesuatu yang tidak berakal itu lebih mustajab daripada manusia.” Beliau terus bersikap lembut pada binatang hingga akhir hayatnya.
            Kira-kira sembilan tahun selepas kewafatannya, yaitu ketika ada penggalian pesarean untuk Kyai Noerhasan bin Nawawie, makam beliau terbongkar sedikit. Ternyata kayu penahan tanah/tsilip di makam beliau masih utuh bahkan masih hijau, seolah-olah baru dipasang. Orang-orang berkomentar tentang hal itu “Maklum, Kyai Abdul Adhim ini semasa hidupnya sangat sayang pada binatang. Tsilipnya tidak dimakan rayap karena segan pada beliau.
            Disini kita dapat mengambil pelajaran bahwa binatangpun makhluq Allah yang harus disayangi seperti dawuhnya Kyai Adhim tadi, Do’a mereka lebih mustajab. Bukankah sudah kita ketahui kisah-kisah dari Rasulullah tentang seorang pelacur yang masuk surga gara-gara menolong anjing yang kehausan, atau sebab diampuninya Sayyidina Umar karena pernah menolong seekor burung pipit.

Kisah Guru #1 : Tips menipu Setan oleh KH. Bisri Musthofa



         
   KH. Bisri Musthofa merupakan salah satu Ulama’ Nusantara yang produktif dalam berkarya, terutama dalam bidang sastra dan kepenulisan. Sudah ratusan buku atau kitab-kitab karangan beliau, salah satu diantara karyanya yang fenomenal adalah kitab Tafsir Al-Ibriz yang ditulis dengan aksara jawa pegon.
            Ada suatu kisah unik tentang beliau yang kami nukil dari bukuPetuah bijak karya A. Yasin Muthohar. Suatu hari KH. Ali Makshum pengasuh Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta pernah berbincang dengan beliau KH. Bisri Musthofa. Dalam perbincangan tersebut Kyai Ali bertanya “Sampeyan ini kok bisa nulis banyak banget begitu, memang rahasianya apa toh, Kang?” ungkap Kiai Ali kagum. “Aku ini kok enggak bisa seperti sampeyan. Saat punya ide nulis yang banyak, tapi waktu pegang pena rasanya kok mendadak ide-ide yang banyak itu jadi hilang entah kemana.”
            Kyai Bisri hanya tersenyum menanggapi, lalu berdawuh “Sampeyan itu nulisnya lillahi ta’ala sih kang, ikhlas, bener-bener cuma buat Allah, jadinya ya susah. Enggak bakalan bisa selesai kalau begitu.”
“Lha? Maksudnya gimana itu kang.” Kyai Ali kebingungan mendengar ungkapan Kyai Bisri yang terdengar ganjil itu.
. “Begini Kang Ali,” kata Kiai Bisri sambil membenarkan duduknya. “Kalau kita nulis dengan perasaan ikhlas, akhirnya setan-setan akan menganggu kita. Ya, jadinya kita enggak selesai-selesai menulis. Lha gimana? Diganggu setan.” Kyai Bisri melanjutkan “Nah, biar bisa selesai nulisnya, kita jangan ikhlas nulisnya. Diniatkan aja untuk cari uang, cari ketenaran, cari pengakuan. Jika kayak begitu, kita jadi seperti penjahit. Penjahit enggak bakal berpindah jahit kain lain sebelum kain yang sekarang selesai dijahit. Jadi sebelum selesai nulisnya, kita enggak akan berpindah ke mana-mana sebelum tulisannya selesai. Begitu tulisannya selesai, baru kita niatkan untuk dakwah, menyebarkan ilmu, mengajar ke masyarakat, dan lain-lain,” jelas Kiai Bisri.
“Owalah, gitu toh kang.” Sambut Kiai Ali terkesima dengan penjelasan Kyai Bisri
“Kalau sejak awal sudah ikhlas nulisnya, diniatkan untuk dakwah, menyebarkan ilmu, memberi manfaat ke masyarakat banyak, waduh, minta ampun Kang Ali, pasti bakalan banyak banget setan yang akan datang mengganggu. Apalagi ini Kiai Ali Maksum, sudah tentu semakin semangat setan mengganggunya. Nah, untuk itulah kita harus memanfaatkan kedatangan setan itu. Begitu mereka tahu kita nulis pakai niat cari untung, ketenaran, dan macam-macam, maka justru semakin semangat kita. Setan juga akan datang tapi malah memberi tenaga tambahan. Ide-ide baru juga bisa keluar, tulisan jadi semakin kaya, semakin variatif,” kata Kiai Bisri                   
“Jadi intinya, kita harus pandai-pandai menipu setan buat jadi bagian dari motivasi, ya?” balas Kiai Ali sambil terkekeh.
            Begitulah terkadang, kita memang perlu unsur ke duniawi-an agar dapat memotivasi kita untuk giat bekerja atau belajar. Asalkan hal tersebut dilakukan dengan ilmu sebagaimana yang dicontohkan Kyai Bisri dalam cerita.  Perlu digaris bawahi bahwa unsur duniawi nya itu hanya untuk memotivasi diri bukanlah prioritas utama kita bekerja, agar kita bisa bekerja sebagaimana penjahit bekerja, yaitu enggak bakal berpindah jahit kain lain sebelum kain yang sekarang selesai dijahit. Jadi sebelum selesai kerjanya, kita enggak akan berpindah ke mana-mana sebelum kerjanya selesai.

Bersalah lalu bertaubat




كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَاء وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Seluruh Bani Adam (manusia) banyak melakukan kesalahan (dosa), dan sebaik-baik manusia yang banyak kesalahannya (dosanya) adalah yang banyak bertaubat.”

            Hadits diatas diperselisihkan hukumnya oleh sebagian ulama’ hadits, ada yang mendla’ifkan ada juga yang menghasankan. Diantara yang menghasankan adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Bulughul Maram yang banyak dikaji di pesantren-pesantren tanah air. Beliau berpendapat hadits tersebut memiliki sanad yang kuat. Namun sebenarnya yang terpenting dalam hadits tersebut bukanlah hasan atau dla’ifnya, tetapi bagaimana hadits tersebut dapat memotivasi kita untuk selalu bertaubat pada Allah. Bagaimana ia menyadarkan kita atas kemurahan Allah Swt. dalam memberi ampunan pada hamba-hamba-Nya.
            Sebagai seorang manusia, kita pasti telah melakukan banyak kesalahan dalam hidup ini. Kalau kata Abu Nawas itu “sudah tak terhitung bagaikan debu”. Hal itu dikaren akan Allah swt. menciptakan kita dengan membawa sesuatu yang spesial yang tidak diberikan pada sebagian makhluq ciptaan-Nya yang lain, yaitu nafsu. Dimana nafsu inilah yang selalu mendorong manusia untuk berbuat salah atau dosa.
Malaikat yang selalu taat pun bisa saja berbuat kesalahan jika mereka diberi nafsu. Suatu riwayat mengisahkan bahwa para malaikat bertanya pada Allah mengapa manusia begitu sering berbuat dosa, maka Allah Swt. mengutus dua diantara mereka yang bernama harut dan marut untuk tinggal di bumi dengan membawa nafsu dan Dia juga memperingatkan mereka dengan tiga larangan. Namun pada akhirnya malaikat Harut dan Marut ini melanggar 3 larangan itu dan mendapat hukuman Allah di dunia.

Syekh Muhammad Al-Bushiri dalam Qashidah Burdah mengungkapkan :
فَإنَّ أَمَّارَتِيْ بِالسُّوْءِ مَا اتَّعَظَتْ
“Sesungguhnyalah hawa nafsuku telah menyuruhku untuk berbuat jelek dan tidak mau mendengarkan nasehat-nasehat yang ada.

            Tetapi meski begitu bukan berarti kita bisa seenaknya mengikuti hawa nafsu dan berbuat dosa. Allah juga telah menganugerahi kita akal fikiran dan hati nurani untuk mengendalikan nafsu yang bebal itu dan untuk senantiasa taat pada Allah. Tergantung pada manusia itu sendiri apakah ia akan menggunakan akal dan hatinya atau tidak?, jika tidak maka ia sama halnya dengan hewan yang hanya bisa mengikuti nafsunya tanpa pertimbangan akal.
            Kembali pada hadits diatas, lalu seperti apa at-tawwabun atau sebaik-baik orang yang berbuat salah itu. Orang-orang yang sadar akan kesalahannya dan meyakini akan luasnya ampunan Allah.

Syekh Muhammad Al-Bushiri kembali dalam Qashidah Burdah mengungkapkan :
يَا نَفْسُ لَا تَقْنَطِيْ مِنْ زَلَّةٍ عَظُمَتْ  إِنَّ اْلكَبَائِرَ فِي الْغُفْرَانِ كَاللَّمَمِ
Wahai diriku! Janganlah berputus asa atas  dosa besar. Karena sesungguhnya dosa besar tidak ada bedanya dengan dosa kecil dalam luasnya ampunan Allah SWT

Ibaratkan dirimu yang sedang berjalan, kemudian tanpa sengaja ada orang yang menyenggol sikutmu lalu ia minta maaf. Apakah kau akan memaafkannya? Tentunya iya, karena ia tak sengaja dan sudah dengan rendah diri meminta maaf. Seperti itu pula kita dengan Allah Swt. semaksiat apapun kita bahkan jika seluruh dosa umat manusia di dunia ini dikumpulkan tak akan cukup untuk menyenggol Keagungan dan ke-Maha Pengampunan Allah, kita hanya perlu merendahkan diri dan kambali bertobat pada-Nya.
Lalu seperti apa Taubat itu?. Singkatnya taubat itu, menyadari dan menyesali kesalahan, memohon ampunan dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak melakukan kesalahan itu. Jika pada akhirnya kita gagal dan mengulangi dosa yang sama, maka lakukanlah taubat lagi. Al-Habieb Mundzir al-Musawwa berdawuh “jangan bosan bertaubat meski sering bermaksiat, jangan berhenti bertaubat meski kau maksiat dan bermaksiat lagi, teruslah bertaubat hingga kau bosan bermaksiat.”
Sebagian dosa ada yang dilakukan dengan sengaja saking lemahnya kita terhadap fitnah yang diujikan pada kita, namun ada juga sebagian dosa lain yang mungkin kita melakukannya tanpa kita sadari. Mungkin ada, pasti ada, mungkin setiap hari? jika kita tak tahu kapan dosa seperti ini masuk dalam catatan amal kita, lantas bagaimana kita akan menghapusnya?
Disinilah diperlukan adanya peningkatkan intensitas dan kualitas taubat kita. Setiap hari kita perlu bertaubat, bayangkan diri ini adalah ember kosong yang dialiri air yang keruh dan air yang jernih. Jika air yang keruh itu mengaliri ember setiap hari, sementara air yang jernih mengalirnya hanya seminggu atau sebulan atau bahkan setahun sekali. Kira-kira bagaimana isi air dalam ember itu. Jernihkah? Keruhkah?.
 Mungkin karena ke-Maha PemurahanNya sekali taubatmu bisa menghapus seluruh dosa, tapi jika kau melakukannya setahun sekali bagaimana jika kau mati di pertengahan tahun? Maka sering-seringlah bertaubat, setiap hari. Minimal dengan bacaan istigfar-lah, berapapun asal dengan jiwa yang sadar. Kapan saja, bisa sehabis sholat, sehabis sekolah atau beraktifitas. Malam harinya bisa disempurnkan dengan dua rakaat shalat taubat, ingat.! Hanya 2 rakaat. Sisihkan diantara tahjjudmu, setelah isya’ juga bisa atau sebelum shubuh?. Mari kejar ampunan-Nya tanpa mengenal putus asa.

Bermain game? Bolehkah?




            Game sejatinya adalah kegiatan untuk menghibur diri dikala inspirasi buntu, atau ketika pikiran ber-rotasi pada porosnya seperti bumi alias pusing. Namun dewasa ini game sudah meranah hingga ke kancah perbisnisan. Sudah banyak orang-orang diluar sana memanfaatkan game untuk mencari nafkah. Kenapa bisa begitu? Karena jenis hiburan ini telah terlalu menghibur banyak orang. Berbagai elemen masyarakat dari pejabat, pengangguran (apalagi), pelajar bahkan bocah sd pun terpikat dengan sajian dan fitur game masa kini, utamanya game online.
            Tak ada dalil khusus yang melarang untuk bermain game. Namun pada dasarnya bermain game adalah perbuatan yang sia-sia, sedangkan tentang perbuatan sia-sia Nabi SAW bersabda Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi). bahkan bisa saja merugakan  jika ada syariat yang dilalaikan dalam aktivitas tersebut seperti :
1.      Isrof (boros)
Yang dimaksud Isrof/pemborosan disini bukan hanya pemborosan pada harta benda, tapi juga boros waktu. Fitur canggih dalam dunia game di zaman ini sudah amat pemikat playernya hingga kecanduan, hal ini pun dimanfaatkan oleh developer game untuk meningkatkan penghasilan mereka dengan menyediakan pembelian fitur baru di dalam game dengan tunai/rupiah. Dan anehnya hal tersebut berhasil membuat para pemain game benar-benar menyisihkan uang saku atau gaji bulanan mereka untuk keperluan game yang sebenarnya hanya hiburan semata, dan aktivitas yang menyia-nyiakan. Disinilah kesalahannya, tidakkah mereka menyadari banyak rakyat miskin di luar sana yang susah payah mencari rupiah. Disedekahkan pada rakyat miskin itu lebih baik daripada diberikan pada developer game yang sudah pada kaya itu.
Kerealistisan dunia game saat ini pun membuat orang lupa bahwa mereka hidup di dunia nyata. Saking candunya mereka hingga lupa memperhatikan waktu, tak sadar kalau waktu sholat telah lewat, lupa kalau waktu malam adalah waktu untuk istirahat, begadang hingga tiba-tiba adzan shubuh berkumandang. Inilah pemborosan...! Makanlah dan minumlah dan berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa berlebihan (israf) dan tanpa kesombongan”. (HR. Abu Dawud). Dalam hal kebutuhan fisik seperti makan dan minum atau kebutuhan batin seperti sedekah pun tak boleh israf apalagi kepada hal-hal yang sia-sia seperti main game?
2.      Merusak aqidah
Dunia game saat ini, terutama game online sudah mampu menyajikan fitur pertandigan fantastis PvP (Player vs Player), dimana terkadang saking epiknya pertandingan emosi player pun ikut naik, tak jarang menemui umpataan atau cercaan pada lawan atau bahkan kawan dalam pertandingan. Disinilah para player kehilangan akidahnya, emosi memuncak membuat lupa pada cara bersikap dan lucunya itu hanya gara-gara hal se-sepele game. “dan sungguh-sungguh (benar-benar) Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar.”(HR. At Tirmidzi).
Menanggapi hadits tersebut ada yang menyangkal “tapi kan itu hanya ketik-an bukan perkataan”. Tetap saja hasil ketikan itu akan menyakiti hati pembacanya, tak ada bedanya dengan perkataan yang menyakitkan bukan?. Masalah besarnya disini adalah bagaimana kita akan meminta maaf jika sampai menyakiti hati player lain yang bahkan kita tak mengenalnya? Hanya kebetulan dipertemukan game, eh malah menitipkan dosa. Wallahu A’lam.

Dua hal tersebut merupakan hal yang dapat merubah kesia-siaan dalam game menjadi sebuah kerugian dan membuat game menjadi aktifitas yang sebaiknya dihindari.
Mungkin sebenarnya game bisa diubah menjadi sesuatu yang ada manfaatnya dan mengurangi kesia-siaannya. Jika kedua hal diatas bisa dihindari dan meniatkan bermain game demi sesuatu yang baik. Karena sesuatu yang sia-sia bisa menjadi baik karena ada niat yang baik. Selengkapnya lihat di artikel kami sebelumnya tentang niat :
Maka dari itu silakan bermain game dengan syarat jauhi dua hal diatas, lalu berniat baik dalam bermain game seperti : bermain game demi menghindari maksiat atau sesuatu yang lebih merugikan dari game, atau bisa juga main game sambil nunggu waktu shalat. Wallahu A’lam.

Minggu, 24 Mei 2020

Kesejatian Al-Qur’an





هَٰذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ وَلِيَعْلَمُوا أَنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (QS Ibrahim 14:52)

Al-Qur’an sejatinya adalah pedoman hidup bagi umat manusia terutama bagi mereka yang mengaku muslim. Disebut bagi umat manusia karena sejak dulu, manusia selalu membutuhkan al-kitab untuk menuntun jalan hidup mereka. Dari Taurat, Zabur,Injil dan shuhuf-shuhuf lainnya sudah banyak dibengkokkan oleh golongan yang tak puas atau berontak pada hukum Allah. Oleh karena itu Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai penyempurna, pembenar dari kitab-kitab sebelumnya. Dimana kitab yang terakhir ini yang paling haq dan dijamin keorisinilannya hingga hari kiamat. Innaa Nahnu nazzalnadz dzikro wa innaa lahuu lahaafidhun. Disebut terutama bagi umat islam karena tujuan pertama dturunkannya Al-Qur’an adalah mengajak seluruh umat menjadi muslim.
            Tapi pada kemyataannya di era globalisasi ini, masyarakat berbeda-beda dalam menyikapi Al-Qur’an. Bahkan kebanyakan yang tidak peduli, sebagian orang yang seolah tak menganggap Al-Qur’an ada, padahal mereka muslim. Admin telah mengklarifikasi beberapa golongan orang dalam menyikapi Al-Qur’an menurut analisa pribadi :
1.      Yang penting ngaji
Yaitu orang yang dimana ia membaca Al-Qur’an dengan niat ibadah, namun dalam kaidah-kaidah pembacaannya kurang diperhatikan, yang ia tahu hanyalah yang diberitahukan padanya oleh sesepuhnya bahwa membaca Al-Qur’an mendapat pahala
Golongan ini biasanya adalah orang-orang yang sudah sepuh seperti kakek, nenek ataupun buyut kita, beliau-beliau ini cenderung punya keistiqomahan dalam jadwal mengaji kitab sucinya, jika seabis sholat subuh ia biasa ngaji maka kita akan jarang menemuinya lalai dari keistiqomahan tersebut. Hanya saja ketika kita mendengar dengan seksama bacaannya, cenderung keliru karena kaidah-kaidah tajwid, makhorijul hurufnya kurang dipraktekkan.
Sebenarnya hal tersebut dapat dimaklumi, mengingat sejarah negeri ini yg suram. Karena diantara kakek nenek kita itu ada yang masa kecilnya dihabiskan di masa penjajahan,masa revolusi,masa komunisme atau masa pemerintahan diktator. Dimana pada masa-masa itu belajar mengaji adalah suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Maka lumrah lah jika para sesepuh kita ini kurang fasih bacaannya. Akan tetapi semangat keistiqomahan mereka lah yang luar biasa dan patut ditiru.
Namun disisi lain ada hal yang sangat disayangkan yaitu anak-anak muda atau generasi milenial  yang malah tidak acuh dengan kesempatan mereka untuk belajar mengaji, mereka anggap mengaji sebagai amalan yang sepele. Padahal mengaji Al-Qur’an itu punya kaidah-kaidah yang harus diikuti. “yang penting ngaji” begitu komentar mereka ketika ditanya. Padahal kewajiban membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar berlaku untuk semua umat muslim yang punya kesempatan untuk belajar ngaji.

2.      Yang penting tau mengaji
Golongan ini sebenarnya sama dengan golongan pertama, menganggap ngaji itu sebagai ibadah sahaja, untuk mencari pahala sebagaimana dikatakan orangtua atau guru kita. Hanya saja mereka lebih menghormati Al-Qur’an, mereka masih punya kesadaran bahwa Al-Qur’an ini kitab suci yang perlu diberi perhatian lebih dalam peletakkan atau pembacaannya.
Didasari kesadarannya itulah akhirnya mereka memilih untuk lebih berhati-hati dalam mengaji. Kaidah-kaidah tajwid maupun makhorijul hurufnya benar-benar dipelajari dan dipraktekkan setiap ia mengaji.
3.      Para penghafal Al-Qur’an
Mereka adalah golongan yang mengikuti hadits Rasulullah SAW yang berbunyi Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia, para sahabat bertanya, “Siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Para ahli Al Qur’an. Merekalah keluarga Allah dan hamba pilihanNya” (HR. Ahmad)
Tetapi untuk para penghafal Qur’an juga harus berhati-hati.karena dizaman sekarang penghafal Qur’an itu banyak godaannya, tidak semua yang berhasil menghafal qur’an semerta-merta menjadi ahlul Qur’an. Berhati-hatilah setelah atau saat kalian menghafal Al-Qur’an, pencuri itu biasanya tidak mencari rumah yang kosong. Pencuri datang jika ada sesuatu di rumah itu, dan hafalan Al-Qur’an adalah curian yang menarik.
Di zaman ini banyak penghafal Al-Qur’an yang terpeleset niatnya, karena mereka banyak di iming-imingi oleh kesenangan dunia. Seperti ingin melamar seorang wanita dengan mahar hafalan 30 juz, atau ingin dimuliakan orang-orang, ingin dijadikan pimpinan, atau hanya sekedar ingin mendapat beasiswa pendidikan. Disini kami bukan ingin menyalahkan atau menyindir para huffadz yang telah mendapat kesenangan tersebut melainkan hanya untuk mengingatkan agar berhati-hati.
 Terangilah hati kalian sesungguhnya pencuri itu seorang pengecut. jika kalian menyinarinya dengan cahaya, ia akan lari tunggang langgang. Terangilah dengan niat tulus untuk benar-benar mencari ridlo Ilahi. Perihal kesenangan-kesenangan seperti yang disebut tadi anggaplah itu bonus dari-Nya di kehidupan dunia, tapi jangan jadikan tujuan utama.
4.      Orang-orang yang paham
Orang-orang ini adalah mereka yang mulai tumbuh rasa cintanya pada Al-Qur’an. Al-Qur’an menjadi sesuatu yang menarik baginya sehingga ia lebih mencari tau tentangnya. Mulai dari kalam maknanya, isi kandungannya, penjelasan tafsir, asbabun nuzul ataupun hal-hal lainnya yang berkenaan dengan Al-Qur’an. Ia tidak hanya sadar bahwa Al-Qur’an adalah kitab sucinya, ia sadar bahwa Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang harus ia pahami.
5.      Berusaha untuk berakhlak Al-Qur’an
Golongan terakhir ini sebenarnya adalah penyempurna dari golongan keempat, setelah paham ia turut mengamalkan ajaran apa yang ia dapat dari Al-Qur’an. Golongan seperti ini sudah benar-benar paham bahwa Al-Qur’an  sebagai Imaaman (pemimpin) wa Nuuron (cahaya) wa Hudaan (petunjuk)  wa Rohmah (rahmat).

Rasulullah bersabda Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang di hari kiamat memberi syafaat kepada pembacanya” (HR. Muslim)
Disisi lain Terdapat satu ungkapan yang disebut-sebut sebagai “hadits” yang berbunyi “Banyak orang yang membaca Al-Quran tetapi Al-Quran sendiri justru melaknatnya.” Menanggapi ungkapan kedua ini ada orang yang berkata “kalau begitu lebih baik kan, jika kita tak usah membaca Al-Qur’an sama sekali”. Hanya saja terlalu sombong jika kita merasa bisa masuk surga tanpa mengamalkan atau membaca Al-Qur’an. Jadi lima golongan diatas bisa dikatakan lebih baik daripada mereka yang acuh ta acuh pada Al-Qur’an.
Lalu bagaimana? Kita tidak tau diantara lima golongan diatas yang akan termasuk sebagai yang disyafaati atau dilaknati. Akan tetapi nalar fikiran kita pasti dapat mengira-ngira golongan mana yang lebih menghormati Al-Qur’an dan berkemungkinan besar disyafaatinya bukan?. Yang terpenting perlu kita ketahui disini adalah kesejatian Al-Qur’an adalah sebagai pedoman penuntun jalan hidup, petunjuk untuk tiap kesesatan atau kebodohan, serta salah satu sarana untuk ibadah.
Wallahu A’lam.